Aku
hanya mengikuti hatiku untuk mencintainya. Mungkin nafsu atau hanya dorongan
syaitan. Tapi aku melihat ketulusan dari kedua matanya, aku tidak bisa menolak
atau mengingkari bahwa aku mencintanya. Allah… aku memang bukanlah hambaMu yang
begitu kuat iman. Sekarang aku memohon berikanlah aku petunjukMu mana yang
terbaik bukan hanya untukku tapi juga untuk semua. Keluargaku. Sahabatku. Dan…. Cintaku.
Bab
1
“Gas,
kamu enggak sholat?” tanya Elina sambil memperhatikan Bagas tetap asyik berkutat
dengan tugas biologi.
“Nanti
dulu deh, tanggung nih!” jawabnya. Pandangannya tetap terpaku pada buku biologi
tanpa menoleh sedikitpun.
Elina
menarik buku biologi yang sedang dilihat Bagas. “Sholat dulu, Gas. Udah jam
setengah dua. Kamu enggak takut dosa? Aku enggak bakal balikin buku tugas
biologi aku kalau kamu belum sholat.”
“Iya
iya… aku sholat.”
“Hehehehe
gitu dong. Aku tuh denger ceramah waktu hari jum’at kemarin kalau kita harus
saling mengingatkan untuk beribadah.”
Bagas
mengernyitkan dahi. “Maksud kamu, kita harus saling mengingatkan untuk sholat?
Kan kamu enggak sholat?”
“Iya,
tapi kan kita harus mengingatkan untuk saling beribadah satu sama lain. Aku
berusaha untuk mengingatkan kamu untuk melaksanakan ibadah kamu terutama sholat.
Masuk neraka lho!” ujar Elina sambil tersenyum.
Bagas
tertawa. Ia jadi teringat bahwa kemarin Elina menungguinya sholat jum’at.
Mungkin Elina mendengar khutbah jum’at dengan baik dibandingnya. Ia saja lupa
apa isi khutbah karena agak ngantuk dan panas. Maafkan hambamu Ya Allah.
“Ya
udah aku ke mesjid dulu.” Bagas keluar kelas. Elina tersenyum mengangguk. Ia
memperhatikan langkah Bagas yang semakin menjauh.
Elina
memperhatikan tulisan tangan Bagas. Ampun deh, udah kelas tiga SMA masih aja
tulisan kayak cacing kelindes ban. Kalo cacing kepanasan masih ada bentuknya.
Lha ini, hihihihi kasihan banget sih Ibu Sarni udah pake kacamata, masih harus
membaca tulisan kayak gini. Elina senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba dari belakang
ada yang mencolek punggungnya.
“Heh
ketawa-tawa sendiri? Gila ya?” tanya Steve heran.
Elina
cemberut. “Enak aja gila, cuma stress.”
katanya bercanda. “Ada apa Steve? Tumben kesini,”
Steve
duduk di sebelahnya. “Besok ada Rohkris (Rohani Kristen). Jam delapan ngumpul
di kelas XII IPS 3. Kita mau ngebicarain tentang kunjungan ke panti kasih bunda
sama bakti sosial. Ikut ya, jangan sampai lupa!”
“Iya,
semoga ya,”
Steve
terkejut mendengarnya. “Li, jangan-jangan kamu sudah pindah agama ya? Sekarang
kamu jarang banget ngumpul buat acara Rohkris udah gitu enggak pernah ada kalo
ada acara yang kita buat”
“Ya
ampun Steve… jahat banget deh kamu! Aku belum pindah agama kali, coming soon
hihihi… ”
“Abis
perilaku kamu sudah kayak orang islam semenjak pacaran sama Bagas. Gue kan satu
sekolah sama kamu sejak SD. Jadi, gue tahu perubahan lu!”
“Iya
koko Steve, makasih atas perhatiannya. Eh, gimana kabar bisnis cupcakenya?
Lancar gak?” tanya Elina mengalihkan pembicaraan.
“Ya
sejauh ini sih lumayan. Kamu mau dikirimin
cupcake?”
“Asik…
dapet kiriman cupcake gratis!!!!” teriak Elina senang.
“Enak
aja. Bayar dong!” kata Steve buru-buru meralat.
Dasar
darah chinesenya terlalu kuat. Jadi apa-apa enggak mau rugi. Elina menggerutu
dalam hati. Ia memasang muka cemberut. “Huuu kirain sekali-kali dapet cupcake
gratis. Tumben enggak bawa cupcake, biasanya bawa banyak.”
“Gue
lagi repot bikinnya. Enggak ada yang bantuin.”
“lho
cici Vina kemana? Udah balik ke Beijing?”
“Enggak,
lagi nginep dirumah temennya. Eh, kemana si Bagas?” tanya Steve sambil
celingak-celinguk.
“Oh…
lagi sholat…” kata Elina tersenyum.
Dua puluh menit kemudian, Bagas kembali
kekelas dan melihat ada Steve.
Bagas
senyum-senyum. “Eh ada Steve, tumben lu kesini. Ada apa nih?” tanyanya sambil
mengambil buku tugas biologi.
“Ini
mau ngasih tau si Elina kalo besok ada acara Rohkris. Boleh kan Gas?” tanya Steve
sambil memandang Bagas.
Bagas
berhenti menulis sebentar. Ia menoleh ke Steve. “Ya Allah Steve, itu mah haknya
si Elina. Dia mau ikut atau enggak terserah dia. Emang gue papinya yang
ngelarang dia kemana-mana. Gue cuma teman kok. Iya kan?” Bagas meminta
persetujuan Elina. Elina mengangguk tersenyum.
Steve
heran. “Lho? lo berdua bukannya pacaran?” Steve memandangi mereka berdua. “Gosip
udah nyebar dan beredar kalo lo berdua udah jadian dan membuat seantereo
sekolah tahu akan hal ini.”
“Itu
berita yang enggak penting yang enggak usah elu layanin dan..”
“Tapi
kan,” potong Steve. “Elu berdua selalu jalan berdua.”
“Udah
lah, enggak usah dipersoalin. Aku enggak janji bisa ikut atau enggak… liat
besok ya?” kata Elina sambil menyakinkan Steve.
“Ya
udah deh. Gue tunggu kedatangan lo,” Steve berdiri. “Gue ke kelas dulu ya. Gas,
gue cabut dulu ye!” Steve menepuk punggung Bagas.
“Oh
iya Steve hati-hati.” Kata Bagas. Matanya fokus menatap ke buku tugas biologi
untuk melanjutkan tugasnya.
“Kamu
tuh makanya ngerjain tugas di rumah. Udah sampai mana?” Elina melihat ke buku
Bagas.
“Sedikit
lagi. Aku kan ada pengajian sama anak Rohis di masjid Al Azhar. Pulangnya agak
malem.”
“Oh,”
Elina mengangguk sambil tersenyum.
***
Bagas
membasuh mukanya dengan air wudhu. Ya Allah sungguh sangat segar air ciptaanMu
ini. Tidak ada yang bisa menciptakan selain Engkau. Setelah selesai berwudhu,
Bagas keluar dari kamar mandi dan mengangkat kedua tangannya membaca doa
setelah wudhu.
Ia
segera menggelar sajadah dan menunaikan sholat subuh. Allahu akbar. Dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi
Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai
hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan
jalan mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Bagas
mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ya Allah maafkan aku bila apa yang aku
lakukan itu salah dan keluar dari perintahmu. Bagas berdiri dan melipat
sajadahnya. Senin pagi, ia segera melihat jam dinding. Udah jam setengah enam,
mesti buru-buru. Bagas segera menyiapkan buku dan mengganti bajunya dengan
seragam sekolah. Mempersiapkan semuanya ternyata menghabiskan waktu setengah
jam.
“Masya
Allah udah jam enam aja. Cepet banget sih.” Bagas segera keluar dari kamar dan
turun ke bawah. Di ruang makan Bi Inah sudah menyiapkan sarapan buat dirinya.
“Assalamualaikum
bi, pagi!” sapanya ke Bi Inah. Bagas pergi ke belakang untuk mengambil
sepatunya.
“Makan
dulu, Gas!” kata Bi Inah sambil menyendokkan nasi ke piring.
“Enggak
usah deh, Bi. Hari ini insya Allah aku puasa,”
“Oh…
ini semua bibi kasih buat pak satpam aja yah? mau dibikinin apa buat buka puasa
nanti? Jus, es buah, atau…”
“Enggak
usah. Di kulkas masih ada es krim, lumayan buat buka puasa. Bibi sama Mang Acep
makan aja, nanti sakit lagi. Aku berangkat dulu ya. Kok aku enggak liat Mang Acep,
biasanya udah ada di meja makan,” Bagas celingak-celinguk.
“Lagi
pergi ke mushola. Pak Rw minta bantuan tenaga Mang Acep buat ngebenerin
genteng.”
“Oh…
ya udah. Assalamu’alaikum,” Bagas mencium tangan Bi Inah.
“Waalaikumsalam
hati-hati Gas,”
Bagas
tersenyum. Ia membuka pintu garasi dan menstarter motor Honda Legenda merahnya.
Bismillah. Setelah dipanasi sebentar, ia langsung memasukkan gigi motor dan
tancap gas. Jam menunjukkan pukul 06.15. bagas segera menambah kecepatannya. Ia berbelok
ditikungan dan melihat sosok tinggi putih bermata sipit tersenyum kearahnya. Ia
memelankan laju motor dan berhenti.
“Udah
lama?” tanya Bagas.
Elina
tersenyum seperti biasa. Tidak pernah ada kerutan karena cemberut dimukanya. Ia
selalu tersenyum membuat matanya semakin sipit saja. “Enggak. Ayo jalan.”
Bagas
kembali menggas motornya. Jalanan kalau setiap pagi pasti macet. Bagas mencoba
mencari celah agar ia tidak telat. Jam 06.30 ia sudah sampai di sekolahnya SMAN
45 jakarta. Ia segera memarkir motornya. Alhamdulillah enggak telat.
Dari
kejauhan ada sosok yang memandangi Bagas dan Elina. “Coba ente liat. Setiap
hari Bagas sama Elina terus nempel aja kayak perangko. Ini bisa menghancurkan
imej kita. Anak Rohis kok pacaran, boncengan, jalan berduaan. Itu sama aja
melawan apa yang kita ajarkan disetiap kajian.”
Orang
yang disebelahnya hanya diam saja. Ia lantas pergi ke lapangan untuk upacara.
Di tempat lain ada seorang muslimah yang terus memandangi bagas. Setiap langkah
Bagas ia ikuti dengan pandangan matanya.
Masya Allah kenapa aku begini. Allah, syaitan terus dan terus merasuki diriku.
Maafkan aku ya Allah. Muslimah itupun segera beranjak pergi.
Bagas
dan Elina berjalan ke lapangan. Beberapa pasang mata memandangi mereka. Bagas,
siswa yang tergolong pintar, tapi ceroboh memang populer di kalangan anak 45
begitu juga Elina. Elina pun pintar dalam segala hal. Ia dan Bagas sering di
pasangkan untuk lomba cerdas cermat, debat, atau PMR. Bagas memang dianugerahi
oleh Allah ketampanan dan Elina juga di anugerahi kecantikan. Namun, mereka
berbeda dalam keyakinan. Dan ini membuat orang-orang di sekolah bertanya-tanya
apakah mereka berpacaran atau tidak, secara mereka bukan ‘muhrim’ dan
‘berbeda’. Bagas kan anak rohis masa pacaran sih sama Elina? Itu hal yang biasa
diucapkan anak-anak dalam pembicaraan mereka.
“Gas,
Lin,” panggil seseorang.
Bagas
dan Elina berhenti dan menoleh kebelakang. “Ada apa ?”
Mereka
berdua melihat Andi terengah-engah. “Gas, Lin, lo jadi pengibar bendera ya?”
katanya sambil menarik napas.
Bagas
dan Elina berpandangan. “Lho gue kan ada tugas juga di PMR, Ndi.” Kata Bagas
pelan.
“Oh
iya. Trus siapa lagi dong yang mesti gue mintain tolong?” tanya Andi putus asa.
“Kan
ada Audy sama Putu,” Elina menjentikkan jarinya.
“Iya
gue baru inget. Eh tapi kan si Bli (abang-red) kadang belom datang?!“ kata Andi
“Coba
aja Ndi. Enggak ada salahnya kan. Liat tuh pak Danil udah mondar mandir,” Bagas
mencoba menenangkan Andi.
“Ya
udah deh. Thanks ya,” Andi segera berlari mencari Audy dan Putu.
Bagas
dan Elina saling berpandangan dan tersenyum. “Kasihan Andi,” kata Elina.
Mereka
berdua berjalan ke ruangan PMR. Sesampainya di ruangan PMR mereka melihat
beberapa anggota PMR. “Eh Ka Bagas Ka Elina ada apa kak?” Rosy menghampiri Bagas
dan Elina.
“Enggak
kok. Cuma mau ngecek ada orang atau enggak.” Elina tersenyum.
“Oh
kirain ada apa.ya udah deh, Aku mau keliling kalo-kalo ada yang sakit atau
enggak kuat ikut upacara. Maaf ya kak, ” Rosy berjalan meninggalkan Bagas dan Elina.
Elina
berjalan ke lemari dan mengambil dua slayer PMR. Elina memberikannya satu untuk
Bagas. Ia langsung memakai slayer dan keluar ruangan PMR. Upacara telah
dimulai. Ia dan Elina berdiri dibelakang barisan anak XII IPA 6. Selama
berlangsungnya upacara keadaan masih membaik, namun di pertengahan ada teriakan
dari barisan anak XII IPA 6. Bagas dan Elina segera berlari ke tengah barisan.
Mereka berdua melihat Sarah, anak XII IPA 6 dan juga anggota Rohis, pingsan.
Bagas
dan Elina segera berlari ketengah kerumunan. “Minta tolong dong yang perempuan
angkat bareng-bareng ke ruang PMR. Lin, aku ke ruang PMR.” Bagas berlari ke
ruang PMR dan segera mempersiapkan segalanya. Ia tidak enak jika mengangkat
seorang wanita terlebih Sarah.
“Tolong
ya harus ada yang menahan kepalanya, kasihan kalo enggak ada yang menahannya.
Dalam hitungan ketiga angkat sama-sama. Satu, dua…tiga yap,” Elina mengangkat
bersama dengan 5 orang lainnya.
“Tumben
Sarah pingsan, biasanya enggak.” celetuk seseorang.
“Mungkin
lagi puasa kali?!” tambah yang lainnya.
Mereka
sudah sampai di ruangan PMR. Disana sudah ada Bagas, dan dua orang anggota PMR
lainnya. Elina dan ke lima orang itu lalu membaringkan Sarah ke ranjang. “Yang
lainnya bisa kembali ikut upacara ya. Biar Sarah kita yang nanganin,” kata
Elina.
“Lin
aku..” Bagas memandang Elina.
“Iya
aku tahu… bukan muhrim kan? Ada aku, tenang aja. Tolong ambilin minyak angin
sama air putih.” Elina membuka beberapa kancing baju putih Sarah. Bagas
menyerahkan minyak angin dan air putih pesanan Elina.
“Aku
keluar dulu ya,” Bagas pun keluar. Elina menganguk “Rosy, tolong kamu buka kaus kakinya.” Elina
memegang tangan Sarah. Ya Tuhan dingin sekali. Ia mengoleskan minyak angin ke
leher, dada dan hidungnya.
“Ka,
kakinya dingin banget.”
Elina
langsung memegang kakinya. “Kamu kasih minyak angin, terus kamu pijit-pijit
ya.” Padahal dahinya panas. Elina menepuk-nepuk pipi Sarah. “Sar, bangun Sar.
Sarah…” Elina terus menepuk-nepuk pipi dan memijat dahi Sarah.
Elina
melihat gerakan Sarah. “Sarah bangun Sar….”
Sarah
perlahan membuka matanya dan terdengar suaranya pelan. “Ya Allah….. pusing
sekali….”
Elina
menarik nafas lega. “Tadi kamu pingsan. Sekarang ada di ruangan PMR. Yuk minum
dulu.” Elina memberi air putih.
“Enggak
makasih,” Sarah menggeleng. “Aku lagi puasa.” Katanya pelan.
Elina
menoleh ke Rosy. “Rosy tolong buatin teh manis anget ya.” Elina memegang tangan
Sarah. “Sar… kamu boleh puasa kalo kamu sehat. Sekarang lihat, kamu lagi demam.
Sakit. Jangan maksain diri ah... Allah enggak suka hambanya yang menzholimi
dirinya sendiri. Kayak kamu gini. Allah pasti ngertiin keadaan kamu dan Allah
pasti nerima niat kamu untuk berpuasa.”
Sarah
tertegun. Elina, gadis non muslim, bisa bicara seperti itu. Elina tersenyum
tulus kearahnya. “Ayo diminum. Minum air putih dulu ya buat batalin puasa kamu,
baru nanti teh manisnya buat menghangatkan tubuh kamu.” Sarah memandang Elina
tidak percaya. Ia merasa takjub dengan perkataan dan perbuatan Elina
terhadapnya.
Tok..tok..tok..
Elina menoleh dan melihat Bagas sudah berdiri di depan pintu PMR. “Aku boleh
masuk?”
Sarah
membetulkan jilbabnya. Elina membantu menutupi kaki Sarah dengan selimut. Elina
mempersilahkan Bagas masuk. Bagas menghampiri Elina. “Bagaimana? Sarah sudah
baikan?” Elina mengangguk. Sarah menunduk.
“Alhamdulillah,”
Bagas menarik nafas lega. Ia menoleh sebentar ke Sarah untuk melihat
kondisinya. Tanpa sengaja, Bagas dan Sarah beradu pandang. Keduanya menjadi
kikuk. Astaghfirullah… aku benar-benar
tidak kuat akan dorongan syaitan.
“Aku
sudah lapor pak Danil. sekarang beliau sedang telepon keluarga kamu dan
memberitahu mereka kalau kamu sakit. Em… sekalian jemput kamu, supaya kamu bisa
istirahat dirumah.”
Elina
menggenggam tangan Sarah. “Cepat sembuh ya. Maaf Sar, aku enggak bisa nemenin
kamu karena sehabis upacara, aku ada ulangan kimia.”
Sarah
mengangguk. “Enggak apa-apa ko. Aku terima kasih banget atas bantuan kamu Lin.
Em.. Gas,” Sarah menunduk. “Makasih.”
Bagas
memandang Sarah sekilas. “Sama-sama. Aku sama Elina kekelas dulu ya. Kamu akan
ditemani Rosy.”
Bagas
dan Elina berjalan keluar ruangan PMR. “Gas,” Elina memandang Bagas. “Kamu
puasa?”
Tanpa
sepengetahuan mereka berdua, Sarah memandangi setiap langkah Bagas dan Elina
yang sudah meninggalkan ruangan PMR. Ia mendengarkan pembicaraan mereka.
“Insya
allah, kenapa?” tanya Bagas heran.
“Alhamdulillah…”
Elina tersenyum senang.
“Ko
Alhamdulillah?” Bagas heran. Mereka berhenti sesaat.
“Aku
bisa nitip doa kekamu supaya aku lulus ujian dengan nilai yang baik. Kan
katanya, kalo orang yang puasa tuh doanya dikabulkan hihihihi…” Elina
cengengesan.
Bagas
geleng-geleng kepala. Kirain apa serius banget. Sarah masih terus memandangi
mereka dari kaca. Masya Allah… kuatkan
aku ya Allah….
***
Alhamdulillah…
sudah selesai sholat isya, tugas sekolah udah beres, dan sekrang waktunya…
istirahat. Bagas keluar kamar . Masih jam sembilan malem. Ia menuruni anak
tangga dan menuju halaman depan.
“Gas,”
Bagas
menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Mang Acep sudah berada dibelakangnya.
Berdiri membawa wedang jahe dan kue bika ambon.
Bagas
berdiri dan mengambil nampan yang dipegang Mang Acep. “Wow… mantap nih Mang
malem-malem makan beginian. Tau aja sih Mamang,” Bagas menaruhnya dilantai. Ia
duduk bersila dan menyeruput wedang jahe yang masih panas. “Bi Inah kemana?”
“Udah
tidur. Padahal mah masih jam Sembilan, Gas?” kata Mang Acep mengambil satu
potong bika ambon. “Bagas aja, belum tidur,”
“Ya
enggak apa-apa Mang. Kalo udah ngantuk, masa ditahan. Entar malah jadi pusing
Mang,” Bagas melihat kearah jalanan kompleks. Sepi. Sunyi. “Sepi banget…”
“Lha,
kan emang setiap hari sepi Gas. Baru nyadar ya?”
“Lagi
ngapain ya Papa sama Mama? Gimana kabar mereka?” Bagas bertanya kedirinya
sendiri.
Mang
Acep menaruh gelasnya. “Insya Allah mereka sehat Gas. Doain aja,”
“Bagas
kangen mereka, Mang. Kadang Bagas mikir, apa Bagas ini anak adopsi, anak
angkat? Kenapa mereka perlakukan Bagas kayak gini? Apa Bagas lemah, cengeng?” tanya
Bagas. Air matanya hampir menetes, ia mencoba menahannya. “Bagas tahu, dosa
kalau Bagas menggugat kenapa, kenapa, dan kenapa sama Allah. Allah pasti punya
rencana lain. Bagas mencoba untuk bersyukur bahwa ada yang lebih kurang
beruntung dibanding Bagas.”
“Alhamdulillah….
Mamang mah bersyukur pisan kalo Bagas nyadar, masih bisa ngendaliin diri supaya
enggak terjerumus ke hal-hal yang enggak-enggak. Enggak begajulan. Mamang terus
berdoa enggak cuma buat anak Mamang dikampung, tapi juga buat Bagas, Tuan sama
Nyonya.”
“Makasih
Mang.” Bagas mencium tangan Mang Acep.
Mang
Acep mengelus kepala Bagas. “Coba Bagas cium tangan tuan sama nyonya kayak
Bagas nyium tangan Mamang dan Bi Inah. Kalo perlu Bagas lebih hormat lagi.
Inget Gas, Mamang dan Bi Inah bukan orang tua Bagas. Kita berdua Cuma orang
laen yang masuk kekehidupan Bagas sebagai pembantu. Bagas seharusnya lebih
hormat lagi sama tuan dan nyonya.” Mamang menghela nafas.
“mamang
kadang enggak enak sama Tuan, Nyonya. Masa Bagas lebih hormat sama kita berdua.
Haduh… salah Gas. Ridhonya Allah, ya karena ridhonya orang tua. Enggak berkah
kita Gas, kalo bermusuhan sama orang tua. Hidup terasa sempit. Banyak masalah.
Dikejar-kejar dosa. Sayang-sayang ibadah yang udah Bagas jalanin.”
Bagas
menunduk. Mencoba mencerna perkataan Mang Acep. “susah Mang untuk menjalani
seperti itu. Sudah terlalu lama aku dikecewain mereka.”
Bagas
mengingat dimana ia memulai kesendiriannya sebagai seorang anak ‘broken
home’disaat berumur lima tahun. Pada saat umur lima tahun, ia harus mendengar
pertengkaran yang memekakan telinga antara Papa dan Mama. Papanya, Rudi Indra
Widyatmoko, adalah seorang fotografer terkenal dan Mama, Mesty Aliandra,
seorang model papan atas Indonesia. Mereka bertemu pada saat Mama dan Papa
terlibat dalam suatu pemotretan yang membuat mereka menjadi dekat satu sama
lain.
Akhirnya,
Mama dan Papa memutuskan menikah disaat umur mereka masih muda. Mama delapan
belas tahun, sedangkan Papa dua puluh tahun. Selang dua bulan kemudian, Mama
positif hamil dan ia mulai mundur dari kehidupan modeling, sedangkan Papa masih
aktif didunia fotografer. Pada saat jeda dari dunia modeling, Mama kembali masuk
bangku kuliah yang ia tinggalkan. Mama berusaha dengan tekun sampai ia berhasil
meraih sarjananya dibidang ilmu komunikasi disalah satu perguruan tinggi swasta
terkenal di Jakarta.
Perjalanan
kehidupan rumah tangga Mama dan Papa berlangsung normal, tapi pada saat tahun
keempat, Mama yang sudah benar-benar meninggalkan dunia modeling dan bekerja
menjadi seorang vice president diperusahaan kosmetiknya ‘Pink Lipstick’,
mendengar bahwa Papa berselingkuh.
Mama
yang masih berusia dua puluh dua tahun yang sedang sibuk dengan karier dan juga
memiliki seorang anak yang berusia empat tahun, berusaha kuat dan tidak
terpengaruh akan gossip yang beredar. Terlebih Mama mendengar bahwa gossip itu
untuk membuat produk buatan perusahaan Mama yang sedang jadi trendsetter menjadi
goyah. Mama tidak percaya begitu saja. Akhirnya, ia berusaha untuk
membongkarnya sendiri.
Selama
itulah, ia ingat bahwa sang Mama dan Papa sudah jarang berada dirumah.
Puncaknya, tepat sebulan setelah perayaan ulang tahunnya yang kelima, Mama
membeberkan bukti-bukti yang telah Mama dapatkan. Papa ternyata telah berselingkuh
dengan model asal Rusia dan ternyata Papa banyak menghabiskan waktu dengan
wanita itu. Padahal Papa sering beralasan bahwa ia ada pekerjaan diluar negeri
dan tidak bisa ditunda.
“apa-apaan
ini?” Tanya Rudy dengan nada berang.
Mesty
tersenyum sinis. “kamu itu munafik. Sudah kamu apakan ‘cewek bule’kamu itu,
hah? Peluk, cium atau kamu tiduri? Apa yang kamu dapati dari dia hah? Apa kamu
tahu apakah dia masih virgin ketika kamu menidurinya?” Mesty menyalakan
sebatang rokok dan menghisapnya.
Rudy
melotot. “sinting kamu.”
“kenapa?!”
Tanya mesty sambil membuang setumpuk foto di tempat tidur. Ia menghisap rokok
dalam-dalam, lalu menyemburkan asapnya ke wajah Rudy. “lihat kelakuan bejat kamu.
Aku selalu berdoa sama Tuhan, semoga anakku enggak seperti kelakuan bapaknya
yang amoral. Pezinah.…”
“lancang
kamu,” Rudy hendak menampar wajah Mesty.
Mesty
menahan amarah dan memandang tegas ke Rudy. “salah langkah aku ketika
memutuskan menikah dengan kamu. Kamu memang tampan Rudy, tapi dibalik topeng
ketampananmu itu tersimpan kejahatan dan balas dendam. Aku tahu kamu berbuat
begini karena ayahmu adalah sama seperti dirimu Rudy. Sama-sama selingkuh dan
melukai hati ibumu. Tapi aku berharap dan terus berdoa, malaikat kecilku,
Bagas, tidak akan pernah sama seperti dirimu. Berbahagialah kamu dengan wanita itu,
tapi jangan pernah sentuh Bagas dengan tangan hinamu.” Mesty menarik nafas.
“mulai hari ini, kita bukan suami istri lagi. Aku minta cerai dan kamu harus
menyetujui itu. Karena aku jijik melihat pezinah seperti dirimu. Sungguh hina
kamu Rudy! Nanti pengacara aku akan mengantar surat cerai ke apartemen kamu.”
BRAK…
Mesty
membanting pintu kamar dan melihat malaikat kecilnya sedang duduk ditangga. Ia
mematikan rokok dan membuang puntungnya. Ia memeluk erat Bagas sambil menangis.
“maafin Mama sayang. Sekecil ini kamu harus menanggung penderitaan seperti
ini.”
Bagas
kecil mengusap air mata mamanya. “kenapa nangis Ma? memang Papa galakin Mama
ya? kenapa sih Ma, Papa galakin Mama terus? Papa kayak monster deh,”
Mesty
menangis tersedu-sedu dan berulang-ulang kali mencium kening Bagas. “ya Allah…
huhuhu…. Mama enggak mau nyakitin kamu sayang…”mesty menggenggam kedua tangan
Bagas. “Mama sayang Bagas… Ma-Mama sangat sangat sangat sayang Bagas… ya Allah
kuatkan hamba…”
Rudy
keluar dengan kopernya. Ia menoleh kearah tangga. Ia melihat mesty sedang
menangis dengan memeluk Bagas kecil. “Papa mau pergi Gas” ia berjalan kegarasi.
“Papa…”teriak
Bagas. Bagas melepaskan pelukan Mamanya. Bagas berlari menuruni tangga dan
menuju kearah Rudy. “Pa, Papa mau kemana? Papa jangan pergi. Papa ikut kan
Parents Day disekolah aku? Papa udah janji,”
Rudy
mengelus kepala Bagas dan menciumnya. “Papa pergi dulu ya,”
Bagas
melihat Papanya menstarter mobil lalu menutup pintunya. Ia ingat,papa tidak
mengucapkan sepatah katapun, bahkan membuka jendela mobilpun tidak. Bagas tidak
menangis. Entah sebenarnya, ia tidak menangis karena sudah terbiasa ditinggal
atau ia memang belum mengerti tentang keadaan yang sebenarnya terjadi.
Semenjak
itu, Bagas tidak pernah mengenal siapa sebenarnya orang yang disebut Mama dan
Papa. Mama dan Papanya tidak pernah datang untuk menjenguknya. Mereka hanya
memantau Bagas melalui telepon lewat Mang Acep atau Bi Inah. Bagas selalu ingat,
setiap ada acara sekolah, orang tuanyalah yang selalu absen untuk datang. Untuk
urusan mengambil rapot pun harus Mang Acep karena siapa lagi yang harus
mengambilnya.
“Gas,
Bagas,” Mang Acep menepuk-nepuk punggung Bagas.
Bagas
segera tersadar. “Ya Allah,” Bagas mengusap wajah dengan kedua tangannya. “ada
apa, Mang?”
“udah
jam sepuluh malem. Tidur gih. Besok kesiangan bangunnya,” kata mang Acep. “biar
ini Mamang yang bawa. Sekalian Mamang mau ngunci pager sama pintu.”
Bagas
mengangguk. “aku masuk dulu ya , Mang,”
Bab 2
Tok..tok..tok..
“lin…Elina..”
panggil Papi dari luar. Elina segera berlari membuka pintu.
“kenapa
Pi?” Tanya Elina yang melihat Papinya sudah rapi. “eh Papi mau kemana? Mau
kencan sama Tante Rika ya? Deu…ganteng banget sih Papi aku ini…” Elina menggoda
Papinya.
Papi
kaget. Wajahnya yang putih bersih, memerah karena malu digoda anak gadisnya.
“ih, kencan? Siapa yang mau sama papi Lin? Papi kan ‘duker’!”
“duker?
Apaan tuh, aku baru ini denger,” Tanya Elina bingung
“duda
kere hahahahaha….” Kata Papinya tertawa.
“ih
kirain aku apaan? Papi tuh bukan ‘duker’, tapi ‘duren’. Duda keren. Tuh liat
papi aku, kayak Andy Lau hihihihi mau kemana sih pi?”
Papi
geleng-geleng kepala. Dilihatnya jam dipergelangan tangannya. “kamu ngigau,
Lin? Papi mau kegereja. Vilin udah nungguin dimobil.”
Tin..tiiiiiinnnnn…
Vilin menekan klakson mobil kuat-kuat.
“papiiiiiii….cepeeeett…lama
banget sih,” teriak Vilin kencang.
“tuh
kan, denger gak suara adik kamu.”
“pi,
aku enggak ikut ya? Aku mau belajar, besok mau ada try out.” Elina memohon
dengan muka melas.
Papi
tersenyum. “udah Papi duga. Ya udah belajar yang rajin. Papi doain semoga
berhasil.”
“oke.
Thank you, Papi…” Elina mencium dahi sang Papi tercinta dan mencium tangan
beliau.
Papi
terkesima dengan sikap anak gadisnya yang sudah mulai dewasa.
“hati-hati
Pi, jangan ngebut ya,” Elina masuk kedalam kamar dan menutup pintunya.
***
Malam
harinya, Vilin naik kelantai dua menuju kamar kakaknya. Ia membuka pintu tanpa
mengetuk terbih dahulu.“ih, kirain aku kakak belajar. Ka, ko tadi enggak ikut
ke gereja sih?” Vilin melihat kakaknya sedang membaca novel The Kite Runner
diatas tempat tidur.
Elina
menaruh pembatas buku di halaman 214, dan menutup novelnya. “tadi siang aku
belajar, cantik…” Elina mencubit pipi adiknya yang berusia empat belas tahun.
“bohong…
kok sekarang lagi baca novel?!” katanya sambil menunjuk ke novel yang berada di
atas meja belajar.
“emang
kenapa sih, kok kamu kayaknya enggak rela banget aku enggak ikut?” Tanya Elina
penasaran.
Vilin
cemberut. “bukan gitu kak, Papi kan ngajak koko Steve bareng, eh disana dia
malah nawarin cupcake ke para jemaat. Ih, aku kesel banget. Aku disuruh bawain
kardus-kardus yang isinya cupcake. Pokoknya aku udah kayak asistennya kak
Steve. Papi bukannya nolongin, malah senyam-senyum aja. Kata Papi ‘nanti kamu
bakal Papi jodohin sama Steve, yah? Udah cocok banget tuh kayaknya, Papi bakal
kasih tau Mamanya Steve, Tante Irene, kalo Papi mau besanan sama dia. Lumayan
kan Papi dapet mantu pengusaha cupcake’ aku beteeeeeeeeeee banget disitu,”
“hahahaha…
cie sama koko Steve. Ganteng tau, Vil.
Kayak Jerry Yan. Hahahaha…” goda Elina.
“kakak….
Ih kakak sama aja kayak Papi,”
Kututup mataku…… dari semua
pandanganku… suara Rossa mengalun lembut dari HP
Elina.
“ya
halo Pi, ada apa?” Tanya Elina.
“makanan
udah siap. Ayo makan malem dulu. Sekalian ajak Vilin juga ya,”
“iya
Pi,” Elina menutup teleponnya. “ayo makan dulu. Papi udah selesai masaknya
tuh,”
Elina
dan Vilin keluar dari kamar menuju ruang makan. Mereka melihat Papi sedang
membereskan meja maka. “sini Pi,aku aja,” Elina meraih piring yang dibawa Papi.
Ia
melihat masakan yang telah dibuat oleh Papi. Ada rendang daging, capcay, lalu
tempe goreng dan tidak ketinggalan kerupuk. Em…yummy…. Mereka bertiga duduk dan
menyantap hidangan yang sudah Papi masak. Papi adalah single dad karena Mami
sudah lama meninggalkan mereka bertiga.
Setelah
tiga bulan kelahiran Vilin, Mami pergi dengan laki-laki yang dicintainya. Mami
dan Papi adalah korban perjodohan. Sewaktu dijodohkan dengan Papi, Mami menolak
dengan alasan, Mami enggak mencintai Papi. Tapi setelah melihat kegigihan dan
ketulusan dari Papi, akhirnya Mami luluh juga dan menikah dengan Papi. Namun,
ketika Mami mengandung Vilin, Mami bertemu dengan pria yang pernah mengisi hari-harinya
sebelum menikah dengan Papi. Mami tergoda dengan Pria tersebut dan setelah
melahirkan Vilin, Mami melarikan diri dengan Pria itu entah kemana.
Papi
merasa menyesal akan hal ini. Ia sedih karena wanita yang dicintainya dengan
tulus, pergi meninggalkan dirinya dan anak-anaknya. Papi menangis bukan karena
Mami, tapi Papi menangis kenapa Mami dengan tega meninggalkan anak yang telah
Mami lahirkan. Semenjak itu, Papi mulai menutup hati terhadap percintaan dan
hanya focus untuk mengurus anak dan bisnisnya. Papi lebih memilih mengembangkan
bisnisnya, yaitu toko sembako di pasar dan juga bisnis toko kue. Papi juga
hanya menghabiskan waktu dirumah, setelah pulang dari pasar. Tidak ada waktu
lagi untuk memikirkan menikah, walaupun banyak dari keluarga Papi yang
menyuruhya segera menikah lagi.
“Niel,
kenapa kamu tidak menikah lagi? Lihat si Elina dan Vilin, mereka itu kan anak
perempuan, seharusnya mereka membutuhkan sosok seorang wanita yang mampu
menjadi teman mereka.” nasihat Tante Bella hanya ditanggapi dingin oleh Papi.
“Mereka
tidak membutuhkan seorang ibu. Bella... kamu tahu kan Ibu kandungnya saja
meninggalkan mereka, jadi buat apa. Kamu lihat kan?” Papi menunjuk kearah kedua
buah hatinya. “Mereka senang-senang saja, walaupun tidak ada ibunya. Aku merasa
sudah bahagia hidup bertiga bersama mereka. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku
untuk sebuah pernikahan. Aku sudah pernah jatuh cinta sekali, menikah sekali,
dan dikhianati sekali. Aku tidak mau mencoba untuk yang kedua kali. Aku sudah
pernah merasakan semua. Sekarang tujuan aku cuma satu, mendidik mereka dan
membuat mereka sukses meraih mimpi mereka, bukan mimpiku.”
“Kak,
Kakak…” panggil Vilin.
Elina
tersentak kaget. “kenapa?”
“kakak
daritadi bengong melulu, mikirin siapa sih? Hayo… ngaku. Pi, Kak Lin kan udah
punya pacar…..” goda Vilin sambil melirik genit ke Elina.
“ih
apa-apaan sih kamu.”
“enggak
apa-apa kali… Papi seneng Elina punya pacar. Biar ada yang nyemangatin kalo
belajar ya, kan?” Papi malah ikut-ikutan menggoda.
“yah
si Papi, malah ikut-ikutan si Vilin. Kompak banget sih!” Elina pura-pura marah.
Ia memanyunkan bibirnya.
“Kak,
kakak jadi kuliah dimana?” Vilin memandangi Elina serius.
“emang
kenapa? Serius banget mukanya neng,”Elina mencubit pipi Vilin yang putih mulus.
“iya
Lin, kamu jadi kuliah dimana?” papi juga ikut-ikutan nanya.
Elina
menyudahi makannya dan mengelap mulutnya dengan tisu. “aku kepengen kuliah di
UI atau UGM aja Pi ngambil psikologi.” Elina menuang air digelas Papi dan
digelasnya. Ia lalu meminumnya.
“lho,
katanya kakak mau kuliah di NTU Singapore?” Tanya Vilin lagi. Papi mengangguk.
“tadinya.
Cuma pas aku pikir-pikir, kasihan Papi nanti enggak ada yang ngurusin. Kalo aku
kuliah di Indonesia kan, aku bisa pulang balik kesini.” Kata Elina sedih. Ia
sadar bahwa sebentar lagi ia akan berpisah dengan Papi dan Vilin untuk
melanjutkan pendidikannya.
“Lin,”
Papi menghabiskan air digelasnya. “papi enggak suka alasan kamu tidak jadi
kuliah di Singapore cuma gara-gara Papi sama Vilin. Kalau kamu memang ingin
kuliah disana, silahkan. Papi enggak akan melarang, papi dukung seratus persen.
Urusan biaya, biar itu urusan Papi. Elina, Vilin, keduanya anak Papi.
Kebanggaan Papi. Semahal apapun biaya sekolah kalian, asalkan itu membawa
manfaat kedepannya buat kalian, Papi dukung.”
“papi
harap, kamu lanjutkan cita-cita kamu menjadi seorang psikolog. Kamu mau kuliah
dimana? Inggris? Amerika? Silahkan. Selama Papi masih bisa mencari uang, Papi
akan berusaha untuk membuat kalian senang. Papi selalu ingin mewujudkan
keinginan kalian. Papi tidak mau mengecewakan mimpi kalian. Kalian berdua
adalah kebanggaan Papi, sinar dan kekuatan Papi dalam melanjutkan hidup.” Papi
menunduk menahan air matanya yang sudah jatuh.
“bagaimana
bisa aku ninggalin Papi?” Elina memeluk Papi dan mencium keningnya. Vilin
memandangi keduanya. Ia mengusap airmata yang telah membasahi pipinya.
“aku
janji akan membuat Papi bangga dan enggak akan membuat Papi kecewa. Itu janji
aku sebagai seorang anak.”
***
Bagas
dan Elina duduk menunggu kedatangan Ibu Aisyah. Keduanya melihat kesekeliling
ruangan kepala sekolah. Mereka melihat lemari yang berisi berbagai jenis
penghargaan yang telah diraih oleh siswa-siswa SMAN 45 Jakarta. Mata Bagas tertuju
pada sebuah piala yang setinggi lima puluh centimeter. Ia ingat bahwa piala
tersebut berhasil ia raih bersama Elina dan teman-teman PMR lainnya. Mereka
berhasil mengalahkan PMR lain dari berbagai SMA di Jakarta. Ibu Aisyah masuk
kedalam ruangan dengan membawa map merah.
“Bagas,
Elina, Ibu memanggil kalian berdua kesini karena kalian berdua adalah
siswa-siswa yang mempunyai nilai akademis yang tinggi ditambah kalian juga
berprestasi dalam bidang ekstrakulikuler. Ada beberapa siswa lain yang juga
mempunyai nilai akademis yang tinggi dan Ibu panggil kesini, cuma sekarang
mereka sedang ada ulangan. Kalian, anak kelas XII IPA 1 sedang ada jam kosong,
kan?” Tanya Ibu Aisyah, kepala sekolah SMA 45 Jakarta.
Bagas
dan Elina mengangguk. Ibu Aisyah membuka map merah. “kemarin Ibu mendapat
kiriman berkas dari UI dan UGM untuk siswa-siswa berprestasi yang ingin
mengikuti PMDK. Disini dijelaskan syarat-syarat untuk mengajukan PMDK. Nah,
menurut Ibu, kalian berdua dan beberapa siswa lainnya layak untuk mengikuti
PMDK karena nilai kalian lebih dari cukup untuk mengikuti itu. Sekarang Ibu
ingin tahu bagaimana pendapat kalian?”
Bagas
dan Elina saling berpandangan. Ibu Aisyah memandang Bagas dan Elina menunggu
keputusan dari mulut keduanya. Elina memandang Ibu Aisyah dengan tatapan
sungguh-sungguh. “kalau aku… aku enggak akan mengikuti PMDK itu Bu karena…”
“karena?”
Tanya Ibu Aisyah.
“karena
saya berencana kuliah diJepang selepas lulus SMA,”
Ibu
Aisyah mengucap syukur dan terlihat gembira mendengar penjelasan Elina.
“Alhamdulillah.. Ibu senang mendengarnya. Kamu mau kuliah dimana? Lalu mau
ngambil jurusan apa rencananya?”
“em…
tadinya aku mau kuliah disini aja. Kalau enggak diUI ya… UGM psikologi. Tapi
Papi menawarkan untuk kuliah diluar negeri aja. Ya sudah, aku terima. Aku minta
doanya aja dari Ibu semoga lancar. Aku sih niatnya kuliah di Nanzan University,
Faculty of Humanities Department of Psychology and Human Relations. Letak
kampusnya berada di Nagoya. Tadinya Papi nawarin di Amerika atau Inggris, Cuma
aku lebih senang di Jepang.”
“ya
sudah, dimanapun kamu kuliah, Ibu dukung seratus persen karena Ibu ingin semua murid
lulusan SMA 45 Jakarta harus menjadi pemuda yang mengguncangkan dunia dengan
ilmu. Nah tadi pacarnya sudah, sekarang bagaimana nih Mas Bagas?” lirik Ibu
Aisyah sambil tersenyum.
Bagas
memandang keluar jendela. “enggak tau Bu. Nanti aja dipikirannya. Belum juga
lulus.”
Ibu
Aisyah kaget. “jangan gitu dong Gas, memang kamu enggak mau meneruskan
sekolah?”
Bagas
bingung untuk menjawabnya. Ia menoleh ke Elina. Elina tersenyum sambil
mengangkat bahu. Terserah kamu, bisik Elina.
Bagas
memandang Ibu Aisyah. “bukan begitu Bu, saya lebih mikirin bisa atau enggak pas
ujian nanti. Saya juga punya rencana ingin nerusin ke jenjang yang lebih
tinggi. Insya Allah bu, masalah kuliah mah gampang, kan kualitas swasta sama
negeri sekarang ini enggak jauh beda. Malah ada swasta yang lebih bagus
kualitas dan fasilitasnya dibanding negeri.”
Ibu
Aisyah terlihat bête mendegarnya. “yah terserah kamu aja deh Gas. Ibu Cuma
menawarkan saja kalo-kalo kamu ingin ikut PMDK daripada susah-susah ikut ujian
saringan masuk lagi. Masa depan kalian, kalian juga yang menjalani. Ibu Cuma
enggak mau menyia-nyiakan aset yang ada didalam diri kalian. Ya sudah, Ibu cuma
mau membicarakan tentang itu saja. Sekarang kalian kembali kekelas. Ingat,
sebentar lagi ujian. Jangan pacaran melulu ya,” goda Ibu Aisyah ke Bagas dan
Elina.
Bagas
dan Elina hanya tersenyum mendengarnya dan mereka keluar untuk kembali kekelas.
“nanti
jadi?” Tanya Elina.
“kemana?”
Tanya Bagas heran. Ia tidak ingat kalau ada janji dengan Elina.
“katanya
kamu mau ke toko buku walisongo,”
“oh…
ya nanti sehabis pulang sekolah, maaf ya aku lupa,”
“enggak
apa-apa, aku maklumin kok. Karena factor usia kan?” goda Elina sambil berlari
menghindari Bagas.
“hahahaha…
bisa aja kamu,” Bagas mencoba mengejar Elina.
***
Elina
turun dari motor. Bagas membuka helm dan jaketnya. Elina memandangi suasana
parkiran ditoko buku Walisongo yang berada didaerah Kwitang. Parkiran motor
begitu penuh sesak tanpa ada ruang sama sekali. Ia menyerahkan helmnya ke Bagas
untuk digantungkan di motor.
Bagas
mengajak Elina masuk kedalam toko. Elina memandangi sekitarnya. Ia tampak risih
dan malu. Elina memandangi dirinya.kebanyakan orang yang datang memakai jilbab,
sedangkan ia masih mengenakan seragam sekolah dengan baju putih lengan pendek
dan rok abu-abu pendeknya.
Bagas
mengerti perasaan Elina. “enggak apa-apa. Katanya kamu mau lihat buku-buku
tentang islam.”
Elina
berjalan pelan dan ragu. Ia memelankan suaranya. “tapi gas, aku risih nih. Tadi
ada bapak-bapak sama ibu-ibu yang merhatiin aku terus. Aku malu….” Katanya setengah
berbisik.
“kamu
cantik sih, makanya diliatin,” goda Bagas. “Allah maha tahu hambaNya yang masih
dalam tahap pencarian hidayah,” ujar Bagas menyakinkan Elina. Bagas tersenyum.
Elina memberanikan diri masuk kedalam.
Ketika
masuk, Elina melihat suasana toko yang amat berbeda. Begitu kental dengan
nuansa islami. Elina mengikuti langkah Bagas. Bagas menoleh kearahnya. “kamu
keliling aja. Kali-kali aja ada yang kamu suka,”
Elina
mengernyitkan dahi. “kamu bercanda Gas? Aku kan bukan orang islam,” suara Elina
dipelankan karena tidak enak apabila didengar orang. Tapi akhirnya, Elina
menuruti juga saran Bagas untuk berkeliling.
Elina
berjalan dari satu rak ke rak yang lain. Elina bingung dan tidak mengerti
dengan judul buku-buku yang berada disitu. Elina berdiri dirak yang khusus
membahas tentang wanita. Tiba-tiba matanya tertarik melihat buku yang berada
dihadapanya.
“wanita
yang dijamin surga?” ucapnya pelan.
Ia
langsung mengambilnya untuk dibaca, tapi sayang buku itu masih disegel. Elina
mencari buku tersebut yang sudah dibuka karena ia penasaran ingin tahu tentang
isi buku tersebut. Ia penasaran, siapa wanita yang kira-kira dijamin masuk
surge. Apa mungkin Mother Theresa? Tidak berapa lama, ia menemukan buku
karangan Ahmad Khalil Jam’ah yang sudah dibuka. Ia langsung membacanya.
Sudah
dua jam Bagas berkeliling Walisongo untuk mencari buku. Ia bingung karena tidak
melihat sosok Elina. “kemana ya?”tanyanya sambil celingak-celinguk, garuk-garuk
kepala. Diambilnya hendphone dikantongnya, lalu mencoba menghubungi Elina.
“halo,”
“halo
Lin, kamu dimana? Aku cari-cari ko enggak ada sih?”
“aku
dilantai satu Gas, dibagian buku-buku tentang wanita. Kamu kesini aja, aku lagi
serius baca nih. Udah ya,” tut…tut..tut.. Elina memutuskan sambungan telepon.
Bagas
geleng-geleng kepala. Ia lantas turun kelantai satu dan mencoba mencari-cari
Elina. Bagas mencari ke bagian buku-buku tentang wanita. Tidak salah lagi,
Bagas melihat Elina sedang membaca. Ia menghampirinya. Karena terlalu serius,
Elina tidak menyadari kehadiran Bagas. “wanita yang dijamin surga,” bagas
membaca judul buku yang di baca Elina.
Elina
kaget, dan menyudahi membaca. “kamu? Aku enggak sadar kalau ada kamu. Udah
lama?”
“baru.
Gimana? Bagus?” tanya Bagas sambil mengambil buku yang di pegang Elina dan
membuka daftar isinya.
Elina
mengambil buku tersebut yang masih di segel. “aku mau beli ini Gas. Aku merasa
tertarik dengan kisah-kisah wanita yang berada dibuku ini.” Elina meninggalkan
Bagas menuju kasir. Namun, baru beberapa langkah Elina berhenti di depan tumpukan
Al qur’an. Ia mengambil Al qur’an yang bersampul warna merah jambu. Ia
melihat-lihat dan tersenyum.
Bagas
menghampirinya. “kenapa?” tanya Bagas heran.
Elina
membuka Al qur’an. “Dulu sewaktu aku sekolah di SD negeri, aku pernah minta ke
papi untuk dibeliin Al qur’an karena semua temen SD aku pada bawa dan
membacanya. Lalu papi jelasin kalau aku bukan orang islam. Aku selalu ingin
membaca dan tahu arti dari bacaan yang terkandung dalam al qur’an, tapi aku
sadar berkali – kali bahwa aku hanyalah orang chinese.”
“apa
hubungannya al qur’an dan chinese?”
“waktu
kecil aku mengutarakan niat aku untuk membaca al qur’an dan mencoba untuk
meminjam al qur’an kepada teman aku di SD, tapi mereka malah menertawakan aku.
Katanya ‘masa orang cina ngaji, ih aneh…’ . disitu aku sedih,” Elina menaruh
kembali al qur’an itu dan melangkahkan kaki ke kasir. Bagas menarik nafas dan
mengambil al qur’an tersebut menuju kasir.
Elina
menoleh ke arah Bagas. “Aku bukan seorang Muslimah, Gas.”
Bab
III
“kak
Bagas….”
Bagas berdiri dari kursi belajarnya dan
meninggalkan buku soal-soal ujian yang sedang dikerjakan. Bagas melihat jam
didinding. Jam sembilan malam. Ia sudah hafal betul suara teriakan seperti itu.
Bagas keluar kamar dan melihat ke bawah. Dibawah shafira sudah cengar-cengir sambil
membawa tas yang penuh dengan isinya.
“ngapain
kamu kesini?” tanya Bagas sambil turun ke bawah.
Shafira
cemberut. “deu… sinis banget sih kak. Aku kan mau tinggal disini,”
“Mau
tinggal atau nginep?” tanya Bagas berdiri dihadapan Shafira. Ia melihat mang Acep
sedang mengangkut barang-barang bawaan Shafira.
“ih,
udah aku bilang, jangan panggil aku fir, panggil aku Sha atau Ra. Emang nama
aku kafir. Kak, aku enggak disuruh duduk sama ditawarin minum?”
Bagas
geleng-geleng kepala. “tinggal duduk aja. Emang kamu mau minum apa?”
“aku
mau…”
“air
putih aja. Biar sehat.” Bagas langsung ngeloyor pergi ke dapur.
Shafira
manyun. “Biar sehat. Dasar,”
Tidak
berapa lama, Bagas membawa sebotol air mineral dingin. Ia langsung menyerahkan
ke Shafira. “nih minum,”
“gelasnya
mana?”
“enggak
usah pake gelas. Ngotor-ngotorin aja. Kasian bi Inah nyucinya. eh, tapi kenapa kamu
bawa-bawa barang sebanyak itu ke rumah aku??” Bagas mencoba bersabar menghadapi
anak berusia 15 tahun yang cerewet, dan bawel walaupun sudah berjilbab. Beda
sekali dengan tante Shifa, ibunda Shafira. Beliau begitu lembut, anggun,
pokoknya muslimah sejati.
Tante
shifa adalah adik mama yang kedua alias bontot alias bungsu. Sedangkan mama
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik mama yang pertama, om alfian
berada di amerika meneruskan sekolah dan bisnisnya di bidang advertaising.
Shafira
menyilangkan kedua tangannya di dada. “emang ibu enggak ngasih tahu kakak? Kan
Ayah dapat beasiswa S3 di inggris, tadinya aku sama ibu mau diajak, cuma…
karena aku tanggung sekolahnya jadi aku sekolah disini aja. Lagian kata tante
mesty aku disuruh tinggal disini aja. katanya sayang kalau cuma ditempatin sama
kak Bagas doang.”
“mama
bilang begitu?!” bagas kaget. Shafira manggut-manggut kayak burung pelatuk.
“kapan mama ke rumah kamu?”
“tiga
hari yang lalu. Kan ibu telpon ke tante mesty kalau mau pindah ke inggris.
Terus tante mesty dateng kerumah. Tante ngasih saran kalau aku tinggal sama
kakak aja biar ada yang ngejagain. Nanti rumah aku di sewain aja terus uangnya buat aku
di tabung. Begitu kak,”
“kenapa
mama enggak kesini?” tanya Bagas sedih. Ia menjatuhkan diri di sofa lalu
menutup wajah dengan kedua tangannya menahan kesedihan.
“kak,
kakak jangan sedih. Tante cerita banyak ke ibu kalau tante kangennnn banget
sama kakak.” Shafira mencoba menghibur Bagas.
“darimana
kamu tahu kalau mama kangen sama aku?”
“kan
aku ngedenger percakapan ibu sama tante Mesty,” Shafira menutup mulutnya. Ups,
kelepasan.batinnya
“nah…
ketahuan kamu nguping ya… dasar biang gosip. Aku bilangin ibu kamu lho ya…”
Bagas menggoda Shafira.
Aduh… bodoh banget sih. Kenapa bisa
kelepasan, batinnya. “ah kakak…. jangan bilang-bilang ibu
dong. nanti aku diceramahin lagi.” Shafira merajuk.
“bodo,”
“ya
udah enggak aku terusin ceritanya,” ancam Shafira.
Bagas
melengos. “dasar. Bisa aja kamu. Ya udah terusin, nanti enggak aku laporin
deh.”
“gitu
dong.” Shafira senang. “Tante tuh sebenernya mauuu… banget dateng dan ngejenguk
kakak, tapi tante malu. Tante malu karena katanya sudah terlalu lama ninggalin
kakak,”
“bagus
dia sadar,” ujar Bagas pelan.
“hush,
enggak boleh gitu kak. Biar gitu-gitu kan mamanya kak Bagas,”
Bagas
tersenyum sinis. “kalau dia seorang mama, kenapa dia enggak pernah merawat
anaknya sendiri. Dia malah lari dari kesedihan dengan bekerja dan meninggalkan
anaknya. Aku enggak pernah tahu kasih sayang orang tua itu seperti apa. Aku
malah tahu kasih sayang yang aku dapatkan dari Mang Acep dan Bi Inah. Aku malah
sudah nganggap Mang Acep dan Bi Inah adalah orang tua aku.”
“kak,
kakak enggak boleh begitu. Inget kak, walaupun Tante Mesty atau Om Rudi enggak
pernah menjenguk kakak, tapi seenggaknya setiap doa yang mereka panjatkan pasti
ada nama kakak. Inget kak amalan yang terus abadi salah satunya ya doa anak
yang soleh. Doa untuk kedua orang tua kita.”
“tapi,”
bagas mencoba menahan kesedihan. “kamu enggak pernah ngerasain apa yang aku
rasain. Aku memang laki-laki, aku enggak boleh cengeng dalam menghadapi
kehidupan. Tapi aku sudah terlalu lama menahan ini semua. Aku mencoba menjadi
dewasa sejak perceraian mama dan papa. Aku disuruh oleh almarhumah eyang putri
untuk tabah dan menerima itu semua.”
“aku
disuruh dewasa menghadapi kesedihan-kesedihan itu walaupun umurku masih terlalu
muda untuk menjadi dewasa. Pada saat aku menangis, siapa yang menghibur aku,
yang mengelap air mataku. Enggak ada. Aku Cuma bisa menangis dikamar dan
menjadi cemoohan anak-anak lain. Setiap hari ibu, orang-orang merayakannya
dengan mengucapkan terima kasih kepada ibu mereka, sedangkan aku? Apa yang
harus aku ucapkan ke mama? Apa aku harus mengucapkan terima kasih karena sudah
melahirkan aku, memberikan rumah, mobil, motor, dan semua yang aku perlukan
atau aku harus bersyukur karena sudah menyia-nyiakan aku selama ini sehingga
aku bisa membencinya sampai sekarang?”
“kak,
kakak ngomong apa sih?” hardik Shafira. “kakak harusnya bersyukur karena tante
dan om memberikan ini semua ke kakak. Diluar sana ada orang yang enggak
mempunyai tempat untuk tinggal, harus rela desak-desakkan atau bahkan rela
menjual anaknya karena enggak mempunyai uang.”
Bagas
menatap Shafira. “aku lebih milih mengembalikan ini semua ke mereka. Akan aku
tukar ini semua dengan kasih sayang yang belum pernah aku rasakan sampai saat
ini. Kenapa ada orang seperti itu di dunia ini? Apa yang mereka pikirkan
tentang aku? Tentang anaknya yang sebentar lagi lulus SMA? Aku butuh nasihat
Ra, sangat butuh.” Bagas menangis dihadapan Shafira.
Shafira
mengelus punggung Bagas. “kak, Allah enggak tidur. Ada rencana yang sedang
disusun Allah untuk kakak. Allah menguji kakak dengan cara seperti ini. Allah
mau tahu seberapa hormat dan sayang kakak terhadap Om dan Tante. Kan pernah ada
yang bilang, kasih sayang orang tua sepanjang jalan, kasih sayang anak cuma
sepenggalan. Jadi, mungkin Allah mau mengetes kakak seberapa sayang kakak terhadap
Om dan Tante walaupun kakak berjauhan sama mereka.” Ujar Shafira dengan
hati-hati.
“aku
juga pasti akan di uji sama Allah, tapi aku enggak tahu kapan. Mungkin
sekarang, besok atau lusa. Apalagi ayah sama ibu mau ke inggris, pasti nanti
ada aja cobaannya.”
Bagas
mengelus kepala Shafira. “kamu sudah makin dewasa walaupun kebawelan dan manja
kamu masih tetep nempel,”
Shafira
merengut. “enak aja aku bawel. Aku enggak bawel kak, cuma banyak omong aja,”
“Sama
aja,,,” kata bagas sambil berdiri melangkahkan kaki. “Ya udah, bawain tas kamu
ke atas. Masih banyak kamar kosong karena kekurangan penghuni.” Bagas berjalan
menuju kamarnya.
Shafira
melongo. “Kak, bantuin aku dong.” Katanya sambil menunjuk ke tumpukan tasnya.
“Lagian
kamu tuh ya.. buanyak banget sih bawa tas.” Kata Bagas sambil ngedumel.
“ya
udah aku panggil mang Acep deh,”
“jangan,”
Bagas menutup mulut Shafira yang sudah bersiap-siap teriak.
Bagas
akhirnya membawakan dua koper dan satu tas selempang milik Shafira. Sedangkan
Shafira membawa tas ransel dan dua kardus air mineral berisi buku-bukunya ke
lantai atas. Bagas mencari kunci kamar yang akan di tempati Shafira di
kamarnya. Akhirnya ia menemukan kunci yang sudah lama di simpannya karena
jarang sekali ada yang menginap. Di rumahnya masih tersisa tiga kamar lagi untuk
tamu dan satu kamar utama yang memang tidak pernah terpakai sejak kedua orang
tuanya bercerai.
“Bismillah,”
bagas mencoba untuk membuka pintu dan berhasil. Dinyalakannya lampu dan membuka
kain-kain yang menutupi kasur, lemari dan meja belajar agar tidak berdebu. Ia
juga masuk ke kamar mandi untuk mengecek apakah kerannya masih berfungsi.
Seingatnya, mang Acep sering membersihkan kamar-kamar tamu.
“sip,
semua udah beres. Besok pagi tinggal kamu pel aja lantainya terus kamu ganti
seprai dan bed covernya. Seprai dan bed covernya kamu minta aja ke bi Inah. Ac-nya
juga masih berfungsi kok,”
Shafira
membawa masuk tas-tasnya. Ia mengamati sekeliling kamar dan tersenyum puas.
“asyikkk… kamarnya luas,”
“kalau
ada apa-apa, kamu tinggal ketuk pintu kamar aku. Kamar aku ada disebelah ya,”
Shafira mengangguk-angguk kayak burung pelatuk, sedangkan Bagas langsung keluar
dari kamar Shafira dan kembali ke meja belajar untuk mengerjakan soal-soal
ujian lagi.
***
Tok..tok..tok…
“kak…”
shafira mengetuk-ngetuk pintu kamar Bagas, tapi enggak ada jawaban. Pelan-pelan
Shafira membuka pintu kamar Bagas. “mentang-mentang minggu pagi, bukannya bangun
malah molor terus.”
Ia
celingak-celinguk didalam kamar Bagas. “kok sepi?” tanyanya kedirinya sendiri.
“Kemana ya?” Shafira melihat kesekelilingnya. Shafira bangga melihat kamar kak
Bagas. Rapi dan wangi. Jarang ada kamar cowok yang serapi ini. Kamarnya sendiri
aja … sangat berantakan sekali. “eh apa itu?” tiba-tiba Shafira tertarik dengan
benda kecil berwarna merah jambu diatasa meja belajar Bagas.
Ia
berjalan kearah meja belajar. Shafira kaget setelah sampai di dekat meja
belajar. “al qur’an?!” tanyanya aneh. Bukan karena al qur’annya yang aneh,
namun covernya berwarna merah jambu. Sejak
kapan Kak Bagas jadi ‘girly’? Apa jangan-jangan….??. Shafira menggelengkan
kepala, mencoba menghapus segala bentuk prasangka buruk yang ada dikepalanya.
Ditaruhnya alqur’an tersebut seperti sedia kala, lalu ia menutup pintu kamar
Kak Bagas dan kembali kekamarnya.
Shafira menjatuhkan diri diatas kasur spring
bednya. “masa sih Kak Bagas..? ih amit-amit, jangan sampe deh.” Shafira
menepuk-nepuk pipinya. “ Ya Allah…kalo sampe bener dugaanku, kasihan banget
dong Tante Mesty, apalagi Kak Bagas. Padahal kan, Kak Bagas ganteng. Ah enggak.
Kak Bagas kan bintang basket… tapi….” Shafira bangun dari tempat tidurnya.
Ia
berjalan mondar-mandir enggak jelas. “masa sih? Ah enggak deh………. Eh tapi…. Apa
kak bagas jadi begitu karena….? Shafira, elo jangan ngomong yang
enggak-enggak…. Ah tapi gue lihat sendiri…..”
“Ra,”
tiba-tiba Bagas masuk kedalam kamar Shafira.
“hah?!”
Shafira kaget melihat sosok Bagas. “oh, hehehehehe em… ada apa ka?” Shafira
jadi salah tingkah.
Bagas
Heran. Kenapa nih anak, tanyanya dalam hati. Ia memandang Shafira dari
atas sampe bawah. Ih lucu, batinnya. Bagas melihat sandal yang berkepala boneka
sapi untuk didalam rumah berwarna putih. “ih lucu deh,” celetuk Bagas sambil
terus melihat ke bawah, kearah sandal Shafira.
Shafira
bengong tidak percaya. Ia langsung melihat ke bawah. “hah lucu?” kekagetan yang
ketiga sepanjang minggu pagi dirumah Kak Bagas. Shafira menunjuk sendalnya.
“sandal? Lucu?”
Bagas
mengangguk dan mendekati Shafira. “coba lihat deh,” Bagas mendekat ke Shafira.
Shafira mencopot sendalnya dan memberikan ke Bagas untuk dilihat.
“kamu
beli dimana Ra?” Tanya Bagas antusias. Shafira bengong tidak percaya. Kekagetan
yang keempat, batinnya. “woi,” Bagas menyenggol keras ke Shafira.
“oh..”
Shafira berusaha tenang. Ia menarik nafas. “aku dibeliin Ibu,” aduh… Shafira
menunduk terpaksa bohong deh gue. “kenapa kak? Kakak mau beli? Buat apaan kak?”
selidik Shafira.
“ya
buat dipake lah..” jawab Bagas enteng.
“oh…
tapi…” belum selesai Shafira ngomong, Bagas melihat jilbab Shafira yang
ternyata lucu banget dan baru dilihatnya.
“ih,
jilbab kamu lucu. Barang-barang kamu lucu-lucu juga ya?”
Ya
Allah….. Shafira lemas. Kenapa jadi begini… Shafira merebahkan diri dikasur.
Sekarang ia sedang lemas tak berdaya karena kekagetannya yang kelima sepanjang
pagi di hari minggu. Kak Bagas gue enggak nyangka ternyata elo…. Lekong…
Shafira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“TIDAKKKKK…..”
teriak Shafira.
Bagas
kaget. Ia heran melihat sikap adik sepupunya itu. “Ra, Ra, istighfar. Kamu
kenapa?”
Gue
harus bertindak. Sebelum kak Bagas terlalu jauh melangkah, katanya dalam hati
dengan mantap. Shafira mengepalkan tangan kanannya dan bangun dari kasur. Lalu
ia memandang Bagas dengan sungguh-sungguh. “kak Bagas, tenang. Aku bakal
ngerubah kakak seperti semula.” Katanya mantap.
Bagas
melongo sambil garuk-garuk kepala. “kamu kenapa sih?”
***
Mesty
memandangi foto yang berada diatas meja. Gimana kabar kamu Gas? Batinnya. Ia
memandang keluar jendela. Gedung ini sangat tinggi sekali. Mama merasa hampa
selama ini. Mama terlalu tinggi dan jauh untuk sampai kehatimu Gas. Apakah
perasaan aku bisa sampai kehatinya. Ia membenciku sampai saat ini. Aku takut
untuk bertemu dengannya. Dengan darah dagingku sendiri. Ya Tuhan… Mesty
menjatuhkan dirinya dikursi dan memainkan pena dijari kanannya yang lentik.
Hari
ini sebenarnya ia ada agenda perjalanan dinas ke Amsterdam. Namun, ia batalkan
dan meminta orang lain yang menggantikannya. Sebenarnya ia berencana untuk
dating kerumah yang telah lama ia tinggal. Rumah yang sekarang ditempati Bagas
saat ini. Ia sangat-sangat ingin dating berkunjung dan memeluk buah hatinya
itu. Namun ia tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi Bagas. Entah bagaimana
tanggapan Bagas jika ia dating berkunjung?.
Mesty
teringat email yang dikirim oleh Rudy, mantan suaminya, dalam emailnya Rudy ingin
bertemu dengannya. Ada apa ini? Tanyanya dalam hati. Sudah lama ia tidak pernah
berhubungan dengannya dan tiba-tiba Rudy mengajak bertemu. Ini merupakan suatu
tanda Tanya besar didalam pikirannya. Seingatnya, setelah mereka bercerai, Rudy
tinggal berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain karena ia memutuskan
menjadi seorang fotografer jurnalis.
Apakah
ia harus menerima ajakan dari Rudy untuk bertemu? Apa alasannya jika ia
menolak? Mesty membuka Macbooknya dan segera membuka email. Ia pandangi layar
laptopnya beberapa saat, lalu ia memutuskan untuk membalas email Rudy.
Cc
:
Subject
: tentang Bagas
Sebenarnya
tidak ada keinginan aku untuk bertemu denganmu. Tapi, dorongan sebagai orang
tualah yang membuatku memutuskan untuk menerima ajakanmu untuk bertemu. Kita
akan bertemu jam 7 malam di Mersailles Café.
Mesty
Diandra Pradipta
Mesty
segera meng-klik menu send. Lagi-lagi ia menarik nafas panjang. Aku sangat
menderita, Rud. Bukan karena tindakanmu selama ini, tapi aku menderita karena
aku merasa berdosa akan buah cinta kita, anak kita. Bagas. Ibu macam apa aku
ini yang lari dari tanggung jawab membesarkan seorang anak. Sehingga saat ini,
aku tidak punya keberanian untuk menampakkan diri dihadapannya. Mesty menutup
wajah dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Diapartemennya
yang berada di lantai 29, ia merasa sendiri dan sepi.
***
Rudy
berjalan keluar kamar mandi dan mengeringkan rambutnya yang basah dengan
handuk. Setelah dua minggu berada di Jepang, akhirnya ia tiba dengan selamat
dan memilih menghabiskan waktunya diapartemenya. Ia mengecek semua email yang
masuk. Mesty, batinya. Tentang bagas..
Rudy
membuka email dari Mesty dan membacanya. “Ternyata ia masih mau bertemu
denganku..” katanya pelan. “Sebenarnya, aku tidak punya keberanian bertemu
denganmu dan juga Bagas. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan saat bertemu
dengan mu..” Rudy menatap lurus keluar jendela apartemenya.
“Aku
hanya merasa sepi.. dan aku sedang mencari perasaan kosong apa yang hinggap
dihati ini...??” ujarnya dengan suara lirih. Rudy menyenderkan tubuhnya
dijendela dan menatap kosong keluar.
Bab
IV
Bagas
dan Elina mengusap peluh didahi mereka setelah selesai berlari mengelilingi GOR
Bumi Pertiwi sebanyak tiga putaran. Mereka berdua memilih duduk dibawah pohon
yang rindang, terpisah dari teman-teman kelas tiga. Hari ini mereka semua
sedang pengambilan nilai olahraga untuk ujian praktek.
“Alhamdulillah
selesai juga..” kata Bagas menarik nafas panjang dan tersenyum. Ia meminum
habis sebotol air mineral ukuran 600ml.
“Iya..
tapi kan kamu udah biasa Gas, lari keliling lapangan sebelum latihan basket.
Kalau aku, haduhh… berasa banget deh jarang olahraganya. Stok oksigen kayak mau
abis..” Elina bicara dengan nafas ngos-ngosan. Wajahnya yang putih, jadi merah
karena udara panas dan keringat.
“Ya
udah minum dulu..” Bagas memberikan sebotol air ke Elina.
Elina
mengambilnya dan tersenyum. “Thanks ya.. ga usah bayar kan?!” katanya meggoda.
“Em…
kalo kamu mau bayar malah lebih bagus lagi. Itu sih kesadaran aja.. hahaha..”
ledek Bagas.
“Hahaha..
kamu bias aja deh. Iya deh nanti aku bayar.. ‘nanti ya’ ,” kata Elina sambil
menekan intonasi di kata terakhirnya.
“Tuh
kan, ‘nanti’ nya ini yang enggak enak..” goda Bagas lagi.
“Hahaha…”
mereka berdua tertawa bersama tanpa sadar bahwa banyak pasang mata sedang
mengawasi dan memperhatikannya.
Ignorance is your new best
friends.. Ignorance is your new best friends lagu Ignorance
dari Paramore keluar dari hp Bagas.
“Halo
assalamu’alaikum.” Salam Bagas.
“Waalaikumsalam.
Bagas ini gue Iman. Gas, ba’da ashar ada yang mau gue omongin masalah rohis ke
lu. Dimohon kedatangannya ya, jangan sampe enggak dateng.” Iman mengingatkan.
“Insya
allah Man.. dimasjid sekolah kan?!” tanya Bagas memastikan.
“Iya..
gue tunggu. Assalamu’alaikum” Iman mengakhiri teleponnya.
“Waalaikumsalam..”
Bagas menjawab salam Iman. Ia lalu menaruh hp ditasnya dan bersiap-siap
keparkiran. “lin, kamu mau bareng aku apa enggak? Aku mau kesekolah dulu. Iman
mau ngomongin masalah rohis habis solat ashar.”
“Aku
bareng sama Meta aja deh, Gas. Aku mau langsung pulang.” Jawab Elina. Ia
membereskan tasnya dan bersiap-siap untuk pergi. “Kamu hati-hati ya.. dah..”
Elina berjalan mendekati Meta.
Bagas
berjalan keparkiran motor. Disana ia melihat wajah Sarah sedang kebingungan.
Bagas lalu mendekatinya. Sarah tidak menyadari kedatangan Bagas. Ia masih
mencoba menstarter motor Mio merahnya yang mesinnya tidak mau hidup dari tadi.
“Ada
apa, Sar?” tanya Bagas.
“Oh
ini… motor aku kok enggak mau hidup-hidup ya daritadi… kayaknya mogok deh.”
Kata Sarah dengan nada putus asa.
Walaupun
dengan wajah yang menunduk untuk menjaga pandangan, Bagas dapat melihat jelas
kebingungan yang ada pada wajah Sarah. Bagas jongkok lalu melihat-lihat motor
Sarah.
“Sar,
pinjem kunci motor kamu,” Bagas mencoba menstarter berkali-kali namun tidak bisa
juga. Ia lantas mengecek busi motor Sarah. “Wah busi motor kamu basah Sar kena
air. Tadi sebelum kesini kamu cuci motor dulu ya?” tanya Bagas tanpa menoleh ke
Sarah. Ia masih fokus dengan motor.
“Iya,
memang kenapa Gas?” tanya Sarah cemas. “Rusak ya?”
“Motor
kamu insya Allah enggak rusak kok. Cuma karena businya basah jadi mesin
motornya enggak mau hidup-hidup. Kayaknya aku punya deh busi cadangan dimotor.
Bentar ya,” Bagas berdiri dan berjalan menuju motornya.
Sarah
terus memandangi langkah kaki Bagas. Masya
Allah.. batinnya. Ia menunduk dan mengalihkan perhatiaan ke motornya. Ia
mencoba pura-pura menyibukkan diri. Aku
terlalu takut untuk mengakui kalau aku jatuh cinta dengan makhluk ciptaanMu ya Allah…
aku takut jatuh kelubang kenistaan yang dalam dan tidak bisa keluar dari lubang
itu batinya lirih.
“Sar,”
Bagas sudah kembali dari mengambil busi. “ Alhamdulillah dimotor ku masih ada busi
cadangan. Kamu tunggu sebentar. Enggak lama kok,” Bagas berjongkok dan menukar
busi motor Sarah yang basah dengan busi cadangannya.
Setelah
beberapa menit, Bagas mencoba menstarter motor Sarah dan… Alhamdulillah
akhirnya mesin motornya bisa kembali hidup dan sudah bias dikendarai.
“Alhamdulillah
Sar… sekarang sudah bisa kamu kendarai. Kamu enggak usah takut mesin motor ini
akan mati lagi, insya Allah lancer deh. Tapi kalau mau lebih mantep lagi,
mending kamu kebengkel aja biar nanti abangnya ngecek lagi.” kata Bagas
nyengir.
Sarah
menatap Bagas. “Makasih ya Gas, makasih banget. Alhamdulillahnya ada kamu, aku
enggak tahu kalau enggak ada kamu jadi gimana?” Sarah bersungguh-sungguh.
Bagas
menatap Sarah. Baru kali ini ia melihat wajah Sarah karena biasanya Sarah
selalu menunduk apabila melihat lawan jenis. Wajahnya teduh seperti Tante Shifa, Ibunda Shafira. “Iya sama-sama
Sar. Kamu hati-hati ya,”
Sarah
mengangguk. Ia bersiap-siap untuk pergi. “Sekali lagi makasih ya Gas.
Assalamu’alaikum,” salam Sarah. Sarah perlahan menggas motornya dan
meninggalkan Bagas diparkiran motor GOR Bumi Pertiwi. Melalui kaca spion, Sarah
masih melihat sosok Bagas tetap berdiri memandangi dirinya.
“Waalaikumsalam,”
jawab Bagas pelan.
***
Setelah
selesai sholat ashar berjamaah di masjid sekolah, Bagas, Iman, Gusti, dan Wahyu
duduk di ruang secretariat Rohis. Iman menarik nafas panjang lalu menatap
Bagas. Bagas merasa ada yang mengganjal dihati teman-temannya itu.
“Man,
kenapa lu manggil gue ke sini? Ada masalah apa?” tanya Bagas tidak enak.
“Gas,”
Wahyu membuka suara. “Sebenernya masalah ini kita enggak boleh ikut campur
karena itu merupakan hak lu sebagai manusia. Namun, manusia itu yang
menciptakan adalah Allah dan Allah sudah menentukan bagaimana seharusnya kita
sebagai manusia itu bertindak,”
“Nah,
disini gue dan yang lain sebagai pengurus mau nanya tentang elu sama Elina.
Bukan gue dan pengurus itu kepo atau mau tahu masalah elu sama Elina. Cuma kok
rasanya enggak enak aja karena elu sebagai pengurus rohis jalan sama yang bukan
muhrim. Gue bukan mempermasalahkan tentang agama, tapi tentang bagaimana elu
terlalu dekat sama Elina dan itu tidak diperbolehkan bukan oleh gue atau
pengurus rohis, tapi dari Allah, Gas.”
Wahyu
menekankan kalimat terakhir. Wahyu menepuk pundak Bagas. “Kita diperbolehkan
untuk berteman Gas, tapi ada batas dan aturannya di dalam agama. Jangan terlalu
dekat dengan api karena awalnya api dapat menghangatkan, tapi jika terlalu
lama, api juga bisa membakar.”
Bagas
menatap teman-temannya. “Maafin gue sebagai anak rohis engggak bisa ngasih
contoh yang baik. Gue menyadari bahwa yang gue lakukan itu salah. Gue minta
maaf. Gue mau ngasih alasan kenapa gue dekat sama Elina,”
“Begini,
Elina adalah satu-satunya orang yang tau gimana rasanya ‘ditinggal’. Gue dan
dia punya nasib yang sama sebagai anak. Mama dan Papa gue sudah bercerai dan
ninggalin gue begitu aja tanpa pernah tau gimana sedih dan kecewanya gue
sebagai seorang anak. Elina juga begitu, Mamanya meninggalka dia, papa dan
adiknya. Gue dan Elina sama-sama dipersatukan karena perceraian orang tua. Buat
kalian yang orang tuanya ‘utuh’ mungkin susah merasakan sakitnya apa yang gue
dan Elina rasain,” Bagas mencoba menjelaskan ke teman-teman rohisnya.
“Gas,”
Iman sang ketua Rohis angkat bicara. “Elu mesti inget Gas. Allah, Dialah yang
selalu menunjukkan jalan kebenaran dan perasaan manusia. Meski elu dan Elina
mempunyai kesamaan ‘nasib’, tapi bukan itu yang Allah mau. Tapi itu kemauan
syaitan. Allah memberikan elu cobaan seperti itu karena Allah ingin tahu dan
melihat seberapa besar kasih sayang elu terhadap mereka, walaupun elu merasa
kurang mendapatkan kasih sayang dari mereka. Perceraian bukanlah sebuah alasan
seorang mukmin untuk meratapi. Jangan hal itu lantas menjadikannya sebagai
alasan sehingga membuat seseorang dekat dengan lawan jenis.”
“Gue
bukan minta elu untuk menjaga nama baik Rohis, tapi gue cuma minta elu jaga
agama lu Gas. Menjaga ajaran agama yang elu anut, yaitu Islam. Inget Gas, di
surat Al-Kafirun sudah dijelaskan ‘bagimu
agamamu bagiku agamaku’. Itu sudah titik bukan koma lagi.”
Iman
tersenyum memandang lurus kedepan. “Setidaknya elu masih bisa tau keadaan orang
tua elu Gas. Masih bisa menatap mereka dan memeluknya selagi ada kesempatan.
Gue malah merindukan akan hal itu”
Iman
menunduk, lalu beberapa saat kemudian ia menatap Bagas dan tersenyum. “Kedua
orang tua gue sudah meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan. Sekarang gue
tinggal sama kakak. Jangan pernah menganggap bahwa orang tua itu jahat terhadap
anaknya. Hati dan pikiran mereka akan selalu tertuju kepada anaknya, Gas.
Jangan pernah berburuk sangka terhadap orang tua. Allah aja tidak pernah berburuk
sangka terhadap Hamba-Nya.”
***
Bagas
membaringkan tubuhnya. Ia menatap langit kamar. Jangan pernah menganggap bahwa orang tua itu jahat terhadap anak-anak.
Hati dan pikiran mereka akan selalu tertuju kepada anaknya, Gas. Jangan pernah
berburuk sangka terhadap orang tua. Allah aja tidak pernah berburuk sangka
terhadap Hamba-Nya. Bagas teringat kata-kata dari Iman. Apakah ia sudah
terlalu jahat kepada orang tuanya. Bagas mengambil smartphonenya lalu membuka
isi bbm yang diterimanya ba’da maghrib.
Assalamu’alaikum
Bagas, Mama mau ketemu kamu di Mersailles Café jam 7 malam hari minggu tanggal
14.
Bagas
menutup kedua mata dengan lengan kanannya. Apakah
aku akan menerima ajakan Mama untuk bertemu. Apakah ini merupakan suatu hal
yang aneh? Untuk bertemu dengan mama, aku harus menguatkan hati. Padahal
mama adalah mama kandungku. Apa yang membuat hati ini terlalu sesak Allah?
Terdengar bunyi pintu kamarnya terbuka. Bagas
segera bangkit dari kegelisahan dan ia melihat Shafira berjalan kearahnya.
Shafira duduk disamping Bagas. “Ka, tadi aku ketemu cewek di Gramedia. Dia yang
nyapa aku duluan. Namanya kalau enggak salah, Elina. Tadi dia sempat ngasih aku
ini ke kakak,” Shafira menyerahkan sebuah flashdisk biru muda ke Bagas. “Kok
dia bisa kenal sama aku ya kak?”
Bagas
menerima flashdisk dari Shafira. Elina lupa mengembalikan flashdisk yang
dipinjam tiga hari yang lalu. “Aku pernah cerita banyak tentang kamu ke Elina.”
Jawabnya singkat.
“Cantik
ya kak? Kayak artis-artis korea. Mirip sama lee hyorin atau lee min ah,”
celetuk Shafira.
“Dasar
kpop-ers. Ra, kamu enggak kangen sama Bunda dan Ayah?” Bagas menatap Shafira.
Ia menarik kursi dan duduk didepan Shafira. Ia merasa kasihan dengan gadis
kelas 1 SMA itu karena harus berpisah dengan kedua orangtuanya.
“Aku
sih sedih Kak. Bohong banget kalau aku enggak kangen sama Ayah atau sama Bunda.
Apalagi tuh ayah paling cerewet ke aku tentang baca Al Qur’an ‘Rara ayo jangan
nonton drama Korea terus. Ayah kok enggak pernah denger-denger kamu ngaji sih’,
begitu… terus, tapi aku bangga Kak karena Ayah kan kesana lagi ngambil S3,
research disana dan nanti pas pulang, bakalan jadi professor keren hehe..”
katanya ceria.
Bagas
mengelus kepala Shafira. “Kamu memang sudah dewasa.”
“Kak,
aku laper. Sebenernya aku mau ngajakin kakak beli nasi goreng gila di
perempatan Tamhar.” ujar Shafira lemes. “Aku laper banget belom makan karena
tadi pulang les lama banget.”
Bagas
tersenyum geli. “Lah kan Bi Inah masak Ra. Lagian liat deh badan kamu, udah
‘berisi’ (gemuk-red) banget.”
Shafira
cemberut. “Iya iya, cuma aku lagi pengen makan nasi goreng Kak. Sekali-sekali
kan boleh,”
“Iya
deh. Ya udah ayo. Cepet mandi terus ganti baju.”
Shafira
mendelik sebel. “Dih, aku udah kece gini. Aku sih udah mandi pake jilbab rapi
and cute. Kakak tuh yang masih kucel.”
Bagas
berdiri lalu dengan iseng melempar kaos kaki kearah Shafira. Tinggal Shafira
yang mencak-mencak dengan kelakuan Bagas.
“Kak
Bagas keterlaluan. Ihhhh jorok banget sih. Bau,” teriak Shafira
“Hahaha
biasa aja keles.” Bagas ngeloyor masuk kekamar mandi.
“Kak
jangan lama-lama nanti keburu malem. Jangan luluran,”
***
Entah
apa istimewanya malam minggu. Sepanjang jalan ramai diisi oleh puluhan bahkan
ratusan muda-mudi berpasangan, berboncengan di kendaraan roda dua dengan
asyiknya. Entah sudah halal atau belum. Wallahu’alam bishawab.
Bagas
dan Shafira menunggu dengan sabar pesanan mereka. Si penjual sudah memberikan
pesan sponsor kepada mereka berdua, “Sabar ya mas. Antri,”. Bagas melihat disekeliling
perempatan Tamhar. Ramai sekali. Ada banyak tukang dagang disini. Apalagi yang
berjualan nasi goreng. Ada sekitar lima orang. Namun yang paling rame hanya
nasi goreng ‘Caman’.
Bagas
membuka bbmnya, lalu ia mengirimkan message ke Mamanya Insya
Allah.
Ada perasaan canggung dan menyesal kenapa ia menjanjikan akan datang. Bagas
melihat-lihat suasana tenda nasi goreng caman. Ia memeperhatikan seorang yang
sudah familiar dimatanya. Matanya yang sudah minus dua mencoba mengenali sosok
tersebut. Sarah. Ia melihat Sarah
yang sedang mengantri nasi goreng juga. Namun ia tidak sendiri, ia ditemani
seorang laki-laki.
“Lho,
itu kan Teh Sarah,” celetuk Shafira.
Bagas
kaget. “Kok kamu kenal.” kata Bagas. Shafira berdiri menuju tempat Sarah
mengantri. Bagas melihat dari kejauhan Shafira terlihat akrab dengan Sarah dan
laki-laki tersebut. Terlihat mereka berjalan menuju tempatnya duduk.
“Kak,
ini Teh Sarah. Kakak pasti kenal,” ujar Shafira.
“Assalamu’alaikum
Sar,” salam Bagas.
“Waalaikum
salam,” jawab Sarah lembut dan menunduk.
“Kak,”
Shafira menyenggol Bagas. “Yang itu namanya Kang Lukman, kakaknya Teh Sarah.
Kang Lukman pinter deh kak. Dia kuliah di UGM teknik nuklir. Keren kan?”
“Hush,
bisa aja kamu,” laki-laki yang bernama Lukman mencoba merendah. “Lukman,” ia
mengulurkan tangan ke arah Bagas.
“Bagas,”
Bagas memperkenalkan diri. “Kok bisa kenal sama Shafira? Oh iya, ayo duduk.”
Bagas,
Shafira, Sarah dan Lukman duduk sambil menunggu pesanan mereka. Hari semakin larut
namun yang datang semakin banyak. “Teh Sarah pesennya dibungkus atau makan
disini?” tanya Shafira memulai perbincangan.
“Dibungkus
Ra. Kalau makan disini penuh.” Jawab Sarah singkat.
“Eh,
pertanyaan aku belum dijawab. Bagaimana bisa kenal sama Shafira, Sar?” tanya
Bagas penasaran.
Sarah
tersenyum ke Shafira. “Shafira itu junior aku di tempat les dan lagi, ternyata
Mama aku sama Bundanya Shafira itu temen SMA dan satu pengajian. Jadi kami
sudah kenal lama.”
“Iya
Gas, makanya pas ayahnya Shafira mau ke Inggris ada rencana kalau Shafira
tinggal dirumah kami,” terang Lukman. “Karena dirumah biar Sarah ada temennya.
Aku kan selama ini di Jogja, jadi jarang pulang.”
“Oh
gitu,” Bagas manggut-manggut. “Kang Lukman sudah semester berapa kang?”
“Alhamdulillah
sudah semester 6.” Jawabnya dengan logat sunda yang masih kental.
“Tau
enggak kak? Kang Lukman mau ke Jepang saking pinternya,” celoteh Shafira.
“Kamu
bisa aja Ra,” ujar Lukman merendah.
“Wah
hebat banget. Kasih tips-tipsnya dong Kang biar bisa ketularan pinter.” belom
lama Bagas mengobrol, ternyata pesanan Bagas dan Shafira sudah tiba.
“Ini
Mas pesanannya,” kata si mas – mas nasi goreng sambil menyerahkan bungkusan
nasi goreng.
“Berapa
Mas?” tanya Bagas sambil mengambil uang di dompet.
“Nasi
goreng gila specialnya dua jadi tiga puluh enam ribu, Mas.”
“Ini,”
Bagas menyerahkan uang pas tiga puluh enam ribu. “Makasih, ya” Bagas melihat ke
araha Sarah dan Kang Lukman. “Sar, Kang, maaf nih aku duluan. Insya Allah nanti
kapan-kapan kita chit-chat lagi ya, haha..” Bagas menjabat tangan Kang Lukman.
“Assalamualaikum,” salamnya.
“Waalaikum
salam. Hati-hati, Gas, Ras,” ujar Kang Lukman.
“Dah..
Kang Lukman, Teh Sarah. Assalamu’alaikum,” Shafira melambaikan tangan ke
keduanya.
“Waalaikumsalam.”
Jawab Sarah lembut.
Lukman
memastikan Bagas dan Shafira sudah jauh tidak terlihat. Ia mendekati sang adik
sambil berbisik. “Is he the special one?”