Thursday, March 5, 2015

Catatan Orang BUKAN Alay 4

 Hai Bloggy…
Setiap pagi gue mengusahakan untuk melakukan aktifitas cycling keliling sekitaran daerah rumah gue walaupun enggak membawa efek yang amat sangat terhadap berat badan gue hahaha…. Sekitar jam setengah enam pagi, Entah kenapa? hari ini gue dengan isengnya dan atas izin Allah tiba – tiba melewati rute yang enggak biasa. Maksudnya jarang gue lewatin. Ketika gue melewati jalan Harapan Jaya, Bekasi. Gue melewati jalan yang sepi. Ada sebuah kali atau sungai yang lumayan besar namun sayang seribu sayang. Banyak penduduk yang enggak bertanggung jawab buang sampah seenaknya. Dari sepeda, gue melihat orang-orang yang menurut gue ‘kurang’ dalam hal pendidikan dan maaf kebanyakan dihuni oleh suku yang gemar mengumpulkan besi, plastic, dan barang2 rongsokan yang tentu kalian sudah tahu, dengan mudahnya menjadikan kali sebagai bak sampah rame-rame. Gila ya nih orang-orang.. *_*

Gue melihat mereka enggak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Padahal menurut gue, jalanannya sudah dirapihin sama pemerintah. Tapi mereka dengan seenak dengkulnya, membuat polisi tidur KW alias asal2an. Belum lagi jalanan akhirnya pada rusak, tidak terawat. Sayang banget. Jadi sedih deh bloggy.. hikshikshiks T_T

Ketika hampir diujung jalan, gue melihat ke sebelah kiri dan terdapat SAWAH sodara-sodara. diBekasi? Wah itu sesuatu yang amazing banget bagi gue karena sekarang sawah merupakan hal yang langka. Sekarang ini Bekasi hanya terdapat ‘hutan beton yang menjulang’. Rada miris sih sebenernya.

Gue menyempatkan mengambil gambar sawah itu. Dan gue diem sejenak menikmati hamparan sawah yang begitu hijau dan tenang. Fiuhh… mudah-mudahan belum dibeli oleh ‘orang serakah’. Lanjut lagi ya bloggy, pada saat gue menyaksikan hamparan sawah yang tenang, gue melihat sekumpulan burung-burung berterbangan. Wah pokoknya gue bener-bener so lucky banget deh pagi itu. Gila, gue jarang banget liat hal yang sangat alami di bumi bekasi sekarang ini.

Wah thanks to Allah to give me a wonderful opportunity for me. Gue berharap 1 minggu, 1 bulan, atau 1 tahun kedepan gue masih bisa ngelihat sawah hijau itu dan burung pipit kecil riang beterbangan. Aaminnn… terus lagi semoga masih ada orang yang sadar akan lingkungan dan mencintai beras dalam negeri sehingga sawah kita tidak dilibas dengan derasnya semen-semen dan pasir untuk dijadikan ‘Hutan Beton’. Aaminnn #CatatanOrangBUKANAlay_COBA

Catatan Orang BUKAN Alay 3

Hay hay bloggy…. Wah udah berapa lama yaa gue enggak nge-post di blog tercinta ini hihi…. Maklum sibuk bwt interview sana sini tapi belom ada yang goal hahaha *belom rejeki kali ye bloggy.  Sing sabar sama banyak2 berdoa kalo kata Embah Narogong.
Kali ini gue mau ngepost mengenai makanan yang udah amat familiar di Indonesia. Makanan ini berjenis kelamin kue haha… biasanya warna hijau, isinya itu terbuat dari kelapa bercampur gula merah, dan kalo dimakan… alamakk enak kali. Yup, gue baru aja bikin KUE DADAR GULUNG. Nah, untuk kue dadar gulung kali ini gue akan menamakannya dengan nama KUE DADAR GULUNG ORI haha karena gue memakai bahan2 asli dan terpercaya semua termasuk pewarnanya yang merupakan dari daun suji dan pandan. Langsung aja ya bloggy.

Resep Kue Dadar Gulung Ori
Bahan:
Kulit:
250 gram tepung terigu (gue pake segi tiga biru)
1 sendok makan susu bubuk (terserah mau full cream, vanilla asal jangan coklat karena nanti adonannya jadi coklat atpi terserah elu ya maunya coklat atau warna2 lainnya)
Garam secukupnya
Minyak secukupnya

Isi:
½ butir kelapa lalu diparut memanjang
1 buah gula merah (iris2)
1 sendok gula putih
3 sendok makan air
Garam secukupnya

Pewarna hijau:
10 lembar daun suji
2 lembar daun pandan
Air secukupnya (kira2 1 gelas belimbing)

Cara membuatnya:
Isi: campurkan parutan kelapa, irisan gula merah, gula putih, garam dan air kedalam wajan masak dengan api kecil. Aduk-aduk supaya bahan isi tercampur dengan rata. Jika semua bahan telah tercampur rata dan gula merah dan putih telah larut dan tercampur dengan baik ke kelapa maka unti/isi dadar gulung telah siap. Sisihkan.

Pewarna hijau: iris daun suji dan daun pandan besar2 lalu masukkan kedalam blender, masukkan air kedalam blender lalu tutup dan nyalakan mesin blender. Pastikan daun telah halus dan warna hijau indah telah dihasilkan. Saring lalu Sisihkan.

Kulit: siapkan mangkuk besar untuk mengaduk dan balloon whisk (pengocok telur). Masukkan terigu, susu bubuk, garam. Aduk rata. Masukkan air pewarna hijau dari daun suji lalu aduk lagi dan pastikan kekentalan si adonan itu pas. Jadi tidak terlalu kental dan tidak terlalu cair. Jadi pas. Jangan lupa, kita mengaduk sampai adonan itu tidak ada yang menggumpal. Jika masih belum yakin dan ingin adonan halus mulus kaya kulit artis korea. kamu saring adonan nya supaya adonan yang menggumpal dapat tersaring dan adonan kita aman karena akan sudah pasti mulus.

Setelah adonan siap. Siapkan Pan dadar. Oleskan minyak. Jika minyak sudah panas, tungkan adonan. Putar. Sehingga menciptakan kulit dadar bulat sempurna. Tunggu kira-kira 3 menit. Angkat.

*tips: supaya cepat, ketika kulit dadar sudah matang, langsung isi dengan unti kelapa. Lipat dengan rapi. Taruh di piring. Tata sedemikian rupa jangan lupa garnishnya. Jadi deh. Kalo elu tumpukin kulit dadar yang telah matang, menurut gue sih bakaan lama. Jadi buat seefisien mungkin ya bloggy.
  
ini penampakan Kue Dadar Gulung Ori yang udah jadi

Proud of me . You can try, bloggy ^_^

Yup, itulah resep Kue Dadar Gulung Ori ala gue hehe semoga bermanfaat dan enak. Keep trying for cooking bloggy…. #CatatanAnakBUKANAlay_COBA

Saturday, February 21, 2015

Catatan Orang BUKAN Alay 2

   Gue mencoba untuk meng-share sesuatu yang amat biasa bagi kalian-kalian, tapi luar biasa bagi gue. Ceritanya, gue ini abis dari masa percobaan untuk membuat suatu yang special *ceile. NASI GORENG hahaha. Gue yang emang awam banget tentang dunia masak entah kena senggol jin mana, tiba-tiba pengen mencoba masak nasi goreng. Karena momen untuk mengetahui masakan gue enak apa kaga. Akhirnya gue memutuskan untuk masak nasi goreng di hari sabtu pagi. Gue enggak mau cuma ngeshare cerita n rasanya aja. Gue juga akan meng-share resepnya juga (mencoba jadi Rachel Ray hahaha). Gue menamai masakan gue ini dengan nama => NASI GORENG ALA ALA hahaha *apa coba

Resep Nasi Goreng Ala Ala
Bahan:
Nasi putih (gue pake nasi putih pera dan ukurannya untuk 5 piring)
3 butir telur (dibuat sebagai telur dadar iris tipis2)
2 sendok makan minyak goreng
1 sendok makan mentega (gue pake blue band *map nyebut merk)
Kecap manis secukupnya
Kecap asin secukupnya
Sayur-sayuran (kol, wortel, sawi hijau)
5 buah Bakso
½ bawang Bombay (bawang Bombay kan bullet, lu potong aja setengahnya trus di chop2 deh *cincang kasar)

Bumbu:
6 buah cabe rawit Madura
5 buah cabe rawit hijau
3 buah cabe merah
3 siung bawang merah
1 ½ suing bawang putih
Garam secukupnya dan sesuai selera (terserah mau asin atau plain)

Nah ini bahan dan juga bumbu2 yg gue pake untuk Nasi Goreng Ala Ala
Pelengkap:
Mentimun
Tomat
Kerupuk
Bawang goreng (kalo enggak ada yang engga apa2 ya bloggy)

ini untuk pelengkapnya. Gampang, simple n ga pake ala chef2 an

Cara membuat:
1.      Pertama-tama haluskan bumbu2 yang udah gue sebutin diatas. Kaya semua jenis cabe seperti yang disebutkan diatas, bawang merah, bawang putih ke blender. (gue pake blender karena biar praktis aja, kalo lu mau ngulek ya engga papa. Nah, perhatian nih bagi yang menggunakan blender jangan masukkin garamnya karena akan membuat karatan pisau dari si blender tersebut).
2.      Setelah bumbu halus, sisihkan. Lalu ambil wajan masak dengan api sedang, masukkin minyak goreng dan mentega (mentega ini sih gunanya buat gurih aja ya bloggy. Gue kebiasaan pake mentega sih) setelah mentega mencair dan panas, masukkan bumbu yang dihaluskan tadi lalu masukkan garam. Memasukkan garam jangan banyak2 dulu biar nanti enggak keasinan. Aduk bumbu hingga matang. Terlihat agak kecoklatan *bukan gosong ya.
3.      Lalu masukkan sayuran yang keras (wortel) dan bakso. Aduk2 sampai 5 menit.
4.      Setelah itu masukkan nasi putih. Aduk terus. Pastikan nasi telah bercampur dengan bumbu rata. Aduk nasi goreng sekitar 10 menit, lalu masukkan sayuran (kol dan sawi. Biar sayurannya tidak layu dan masih ada vitaminnya *kata nyokap). Aduk lagi biar rata.
5.      Nah, sebelum dikasih kecap asin dan kecap manis. Pastikan mencoba nasi goreng kamu dulu. Asin atau plain alias engga ada rasa alias hambar. Setelah merasa garamnya udah cukup, masukkan kecap asin terlebih dahulu. Aduk dan ratakan. Kemudian masukkan kecap manisnya. Terus aduk nasi sampai tercampur rata dengan kecap.
6.     Cicipin dulu. Apa ada yang kurang atau kelebihan maksudnya keasinan. Inget ya bloggy, memasak itu harus mencoba atau mencicipi biar tau rasa masakan kita. Berani mencoba.
7.  Setelah 15 menit, angkat. Tata di piring dengan irisan telur, timun dan juga tomat. Jangan lupa kerupuknya ya.

Sekarang, Nasi Goreng Ala Ala siap dilibas dan  siap difoto biar bisa upload di FB ato twitpict di Twitter.  Maaf enggak ada pict untuk step2nya. Ribet ternyata masak sambil foto2. Haha sekian terimakasih. #CatatanOrangBUKANAlay_COBA    

Ini dia Nasi Goreng Ala Ala buatan gue hehe *bangga bener


Selamat mencoba n mari makan bloggy. 




Friday, February 20, 2015

Catatan Orang BUKAN Alay I

    Gue muslim tapi gue menolak yang namanya kekerasan yang dilakukan oleh organisasi atau kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. Terkadang mereka-mereka itu mengatas namakan kekerasan itu dengan berlandaskan agama. Sebut saja,  ISIS, Al Qaeda, dan kelompok lainnya dimuka bumi ini.  Seharusnya mereka harus belajar islam lebih dalam. Allah dan Para RasulNya tidak pernah menyuruh atau memerintahkan kaum muslim bertindak kanibal, bertindak semena-mena, bertindak anarkis dengan kaum non muslim bahkan dengan sesama muslim. Berjihad atau mati syahid sudah diatur ketentuannya didalam Al Qur'an. Maka dari itu, banyak-banyaklah belajar dan mempelajari makna yang terkandung didalam Al Qur'an (Ilmu Tafsir). Jangan pernah mengartikan atau menafsirkan sendiri ayat-ayat suci yang diwahyukan oleh ALLAH SWT. Allah tidak pernah meridhoi hamba-hambaNya yang menumpahkan darah saudaranya sendiri dengan melakukan pembenaran-pembenaran oleh dirinya sendiri.
Jangan contoh nih yg begini-beginian ya bloggy. Islam love peace (Photo by Google)

      Gue bukanlah seorang ustadzah sekelas Mamah Dedeh atau anak sholehah yang hafal 10 juz Al Qur’an. Gue hanya  sedih and geram melihat Islam selalu dipertontonkan sebagai agama kekerasaan. Menyebarkan violence. Itu enggak bener. Tolong dong yang mengaku Islam, pemeluk agama islam, ber-KTP Islam atau yang mencintai Islam. Please, sebarkan virus Islam cinta damai. Allah SWT mencintai hambaNya yang berkasih sayang. Nabi Muhammad SAW berpesan agar umat Islam bersatu padu, hidup rukun dengan sesama. Fanatik terhadap agama boleh, namun jangan sampai ke-fanatikan kita membawa pengaruh buruk kepada dan terhadap orang lain. Maha benar Allah dengan segala firmanNya. ‪#‎CatatanOrangBUKANAlay_COBA

Islam hates VIOLENCE. (Photo by Google)

Contoh Surat Lamaran / Application Letter

Kali ini pengen nge-share mengenai surat lamaran or application letter. Surat lamaran ini merupakan bagian penting selain CV (Curriculum Vitae) pada saat kita mengirim lamaran. Tanpa banyak kata-kata langsung aja ya bloggy ^_^

Contoh 1:
13 November, 2014
HRD Department
PT. Graha Kerindo Utama
Jl. Teuku Umar Raya KM. 43-44
Cibitung – Bekasi 17520

Dear Sir / Madam,
Based on Jobstreet.com, I would like to apply as a Logistic Administration. My name is Nurul Fauziah, 24 years old, female, single, energetic and healthy. I graduated from English Lectures at Darma Persada University with GPA 3.23.
I bring to a strong work ethic, desire to succeed, and need to produce quality work. As a result of knowledge and skills gained through my study, I will be able to more than adequately the requirement as a Logistic Administration at your company.
I am confident with my skill, knowledge, and interest would fulfill requirement of the position outlined. The opportunity to discuss my application with you would be appreciated. You can contact on my mobile phone: 085697464255.
Thank you for taking the time to review my application.
Your sincerely,
Nurul Fauziah

Contoh 2:
January 7, 2015
Nurul Fauziah
Jl. Sultan Agung Gg. PT. Inhutani Rt 02 Rw 11 No. 54
Medan Satria - Bekasi 17132

HRD Department
PT. Multi Hanna Kreasindo
Industrial Waste Solution
Jl. Raya Narogong Km. 12 Pangkalan 11 No. 23
Bantar Gebang, Bekasi – Jawa Barat

Dear Sir or Madam,
I wrote to apply for the Administration Staff position in PT. Multi Hanna Kreasindo advertised on Jobstreet.com. My name is Nurul Fauziah, 24 years old, female, single, energetic and healthy. I graduated majoring English Lectures from Darma Persada University with GPA 3.23.
I bring to a strong work ethic, desire to succeed, and need to produce quality work. As a result of knowledge and skills gained through my study, I will be able to more than adequately the requirement as an Administration Staff position at your company.
I am confident with my skill, knowledge, and interest would fulfill requirement of the position outlined. You can contact on my mobile phone: 085697464255.
Thank you for taking the time to review my application.
Yours sincerely,
Nurul Fauziah

Contoh 3:
February 16, 2015
Nurul Fauziah
Jl. Sultan Agung Gg. PT. Inhutani Rt 02 Rw 11 No. 54
Medan Satria - Bekasi 17132

HRD Department
PT. Tokopedia
Jl. Raya Perjuangan No. 12A
Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Dear Sir or Madam,
I wrote to apply for the Operational Customer Care Specialist position in Tokopedia advertised on jobstreet.com. I, Nurul Fauziah, graduated from Darma Persada University in English Literature GPA 3.23.
I have a proven track record of responsibility, integrity and commitment to company objectives. I can work independently or as part of a team. In addition to all of this I have impeccable personal and work references which I can present to you when we meet. If you need additional information, you can contact me at 085697464255 / 88951577.
Thank you for taking the time to consider my application.
Yours sincerely,
 Nurul Fauziah


      Dari ketiga application letter diatas sebenernya sama aja, Cuma surat yang ketiga itu lebih simple. Inget ya bloggy, orang itu suka yang simple. Surat lamaran ini hanya contoh aja. Pasti surat lamaran lo lebih bagus dari punya gue ini. Sama-sama belajar dan mengajari ya… jadi enggak cuma pinter sendiri aja. Berbagi itu baik hehehe sekian.^_^
(Please, do not copy without permission)

Thursday, February 19, 2015

Bros Cantik and Menarik

      Sudah beberapa hari ini gue mencoba bikin bros sambil nunggu-nunggu panggilan interview and dapet kerjaan hehe. Alhamdulillah kegiatan bikin bros ini bisa menjadi bisnis kecil-kecil dengan keuntungan yang alhamdulillah. Bikin bros itu ternyata luar biasa. Luar biasa sabar, luar biasa capek, dan luar biasa bahagianya pas lihat hasil karya sendiri. hehe

Ribbon Pin

      Gambar yang diatas itu adalah Ribbon Pin. Gue membuatnya dari pita satin motif, lace/renda, lalu mutiara and jangan lupa pin/jarum pentul. Disini gue enggak pakai peniti khusus bros, tapi pakainya jarum pentul karena biar kamu lebih gampang untuk memakainya karena tinggal disematkan aza hehe. Menerima pesanan ya... haha Yuk capcus ^_^
 
Almira Brooch
     Selanjutnya ini ada Almira Bros. Ini rada susah and memakan biaya yang 'agak mahal karena pearlnya itu harus extra banyak biar kelihatan cantik. Terus lagi, nyari renda yang warna hijau rada lumayan susah karena rata-rata renda yang ada di toko yang gue datengin tinggal warna-warna biasa kaya putih, merah, pink. Nah, dibros ini, gw make renda hijau, tile, kuncup mawar, lalu bunga-bunga kecil. Yang mau order boleh. hehe

Sakinah Brooch
     Sakinah brooch ini gue bikin dengan perasaan tenang alias bener-bener dalam keadaan yang enjoy. Gue bikin dari renda (gue engga tau renda jenis ini), tile, and bunga-bunga. Menerima pesanan juga yak.. ibu-ibu bapak-bapak *lho ^0^

Sms/whatsapp: 085697464255.

     Ini adalah logo and brand gue. Alhamdulillah sebenernya udah banyak bros yang telah tercipta, tapi karena males difotoin, terus lagi udah laku kejual, jadi sedikit deh yang ke upload.

cihuyyy brooch by alwani. keren juga haha *peres

Foto tiga kebawah ini bros yang terbuat dari kain flanel ya man-teman hihihi ^_^



Terima Kasih. Hatur Nuhun. Thank You. Mercy. Gracias. Arigatou Gozaimasu. Makasih yaaa *0*

Wednesday, February 18, 2015

The Special One

Aku hanya mengikuti hatiku untuk mencintainya. Mungkin nafsu atau hanya dorongan syaitan. Tapi aku melihat ketulusan dari kedua matanya, aku tidak bisa menolak atau mengingkari bahwa aku mencintanya. Allah… aku memang bukanlah hambaMu yang begitu kuat iman. Sekarang aku memohon berikanlah aku petunjukMu mana yang terbaik bukan hanya untukku tapi juga untuk semua. Keluargaku.  Sahabatku. Dan…. Cintaku.


Bab 1
“Gas, kamu enggak sholat?” tanya Elina sambil memperhatikan Bagas tetap asyik berkutat dengan tugas biologi.                                                 
“Nanti dulu deh, tanggung nih!” jawabnya. Pandangannya tetap terpaku pada buku biologi tanpa menoleh sedikitpun.
Elina menarik buku biologi yang sedang dilihat Bagas. “Sholat dulu, Gas. Udah jam setengah dua. Kamu enggak takut dosa? Aku enggak bakal balikin buku tugas biologi aku kalau kamu belum sholat.”
“Iya iya… aku sholat.”
“Hehehehe gitu dong. Aku tuh denger ceramah waktu hari jum’at kemarin kalau kita harus saling mengingatkan untuk beribadah.”
Bagas mengernyitkan dahi. “Maksud kamu, kita harus saling mengingatkan untuk sholat? Kan kamu enggak sholat?”
“Iya, tapi kan kita harus mengingatkan untuk saling beribadah satu sama lain. Aku berusaha untuk mengingatkan kamu untuk melaksanakan ibadah kamu terutama sholat. Masuk neraka lho!” ujar Elina sambil tersenyum.
Bagas tertawa. Ia jadi teringat bahwa kemarin Elina menungguinya sholat jum’at. Mungkin Elina mendengar khutbah jum’at dengan baik dibandingnya. Ia saja lupa apa isi khutbah karena agak ngantuk dan panas. Maafkan hambamu Ya Allah.
“Ya udah aku ke mesjid dulu.” Bagas keluar kelas. Elina tersenyum mengangguk. Ia memperhatikan langkah Bagas yang semakin menjauh.
Elina memperhatikan tulisan tangan Bagas. Ampun deh, udah kelas tiga SMA masih aja tulisan kayak cacing kelindes ban. Kalo cacing kepanasan masih ada bentuknya. Lha ini, hihihihi kasihan banget sih Ibu Sarni udah pake kacamata, masih harus membaca tulisan kayak gini. Elina senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba dari belakang ada yang mencolek punggungnya.
“Heh ketawa-tawa sendiri? Gila ya?” tanya Steve heran.
Elina  cemberut. “Enak aja gila, cuma stress.” katanya bercanda. “Ada apa Steve? Tumben kesini,”
Steve duduk di sebelahnya. “Besok ada Rohkris (Rohani Kristen). Jam delapan ngumpul di kelas XII IPS 3. Kita mau ngebicarain tentang kunjungan ke panti kasih bunda sama bakti sosial. Ikut ya, jangan sampai lupa!”       
“Iya, semoga ya,”
Steve terkejut mendengarnya. “Li, jangan-jangan kamu sudah pindah agama ya? Sekarang kamu jarang banget ngumpul buat acara Rohkris udah gitu enggak pernah ada kalo ada acara yang kita buat”
“Ya ampun Steve… jahat banget deh kamu! Aku belum pindah agama kali, coming soon hihihi… ”
“Abis perilaku kamu sudah kayak orang islam semenjak pacaran sama Bagas. Gue kan satu sekolah sama kamu sejak SD. Jadi, gue tahu perubahan lu!”
“Iya koko Steve, makasih atas perhatiannya. Eh, gimana kabar bisnis cupcakenya? Lancar gak?” tanya Elina mengalihkan pembicaraan.
“Ya sejauh ini sih lumayan. Kamu mau  dikirimin cupcake?”
“Asik… dapet kiriman cupcake gratis!!!!” teriak Elina senang.
“Enak aja. Bayar dong!” kata Steve buru-buru meralat.
Dasar darah chinesenya terlalu kuat. Jadi apa-apa enggak mau rugi. Elina menggerutu dalam hati. Ia memasang muka cemberut. “Huuu kirain sekali-kali dapet cupcake gratis. Tumben enggak bawa cupcake, biasanya bawa banyak.”
“Gue lagi repot bikinnya. Enggak ada yang bantuin.”
“lho cici Vina kemana? Udah balik ke Beijing?”
“Enggak, lagi nginep dirumah temennya. Eh, kemana si Bagas?” tanya Steve sambil celingak-celinguk.
“Oh… lagi sholat…” kata Elina tersenyum.
 Dua puluh menit kemudian, Bagas kembali kekelas dan melihat ada Steve.
Bagas senyum-senyum. “Eh ada Steve, tumben lu kesini. Ada apa nih?” tanyanya sambil mengambil buku tugas biologi.
“Ini mau ngasih tau si Elina kalo besok ada acara Rohkris. Boleh kan Gas?” tanya Steve sambil memandang Bagas.
Bagas berhenti menulis sebentar. Ia menoleh ke Steve. “Ya Allah Steve, itu mah haknya si Elina. Dia mau ikut atau enggak terserah dia. Emang gue papinya yang ngelarang dia kemana-mana. Gue cuma teman kok. Iya kan?” Bagas meminta persetujuan Elina. Elina mengangguk tersenyum.
Steve heran. “Lho? lo berdua bukannya pacaran?” Steve memandangi mereka berdua. “Gosip udah nyebar dan beredar kalo lo berdua udah jadian dan membuat seantereo sekolah tahu akan hal ini.”
“Itu berita yang enggak penting yang enggak usah elu layanin dan..”
“Tapi kan,” potong Steve. “Elu berdua selalu jalan berdua.”
“Udah lah, enggak usah dipersoalin. Aku enggak janji bisa ikut atau enggak… liat besok ya?” kata Elina sambil menyakinkan Steve.
“Ya udah deh. Gue tunggu kedatangan lo,” Steve berdiri. “Gue ke kelas dulu ya. Gas, gue cabut dulu ye!” Steve menepuk punggung Bagas.
“Oh iya Steve hati-hati.” Kata Bagas. Matanya fokus menatap ke buku tugas biologi untuk melanjutkan tugasnya.
“Kamu tuh makanya ngerjain tugas di rumah. Udah sampai mana?” Elina melihat ke buku Bagas.
“Sedikit lagi. Aku kan ada pengajian sama anak Rohis di masjid Al Azhar. Pulangnya agak malem.”
“Oh,” Elina mengangguk sambil tersenyum.
***
Bagas membasuh mukanya dengan air wudhu. Ya Allah sungguh sangat segar air ciptaanMu ini. Tidak ada yang bisa menciptakan selain Engkau. Setelah selesai berwudhu, Bagas keluar dari kamar mandi dan mengangkat kedua tangannya membaca doa setelah wudhu.
Ia segera menggelar sajadah dan menunaikan sholat subuh. Allahu akbar. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Bagas mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ya Allah maafkan aku bila apa yang aku lakukan itu salah dan keluar dari perintahmu. Bagas berdiri dan melipat sajadahnya. Senin pagi, ia segera melihat jam dinding. Udah jam setengah enam, mesti buru-buru. Bagas segera menyiapkan buku dan mengganti bajunya dengan seragam sekolah. Mempersiapkan semuanya ternyata menghabiskan waktu setengah jam.
“Masya Allah udah jam enam aja. Cepet banget sih.” Bagas segera keluar dari kamar dan turun ke bawah. Di ruang makan Bi Inah sudah menyiapkan sarapan buat dirinya.
“Assalamualaikum bi, pagi!” sapanya ke Bi Inah. Bagas pergi ke belakang untuk mengambil sepatunya.
“Makan dulu, Gas!” kata Bi Inah sambil menyendokkan nasi ke piring.
“Enggak usah deh, Bi. Hari ini insya Allah aku puasa,”
“Oh… ini semua bibi kasih buat pak satpam aja yah? mau dibikinin apa buat buka puasa nanti? Jus, es buah, atau…”
“Enggak usah. Di kulkas masih ada es krim, lumayan buat buka puasa. Bibi sama Mang Acep makan aja, nanti sakit lagi. Aku berangkat dulu ya. Kok aku enggak liat Mang Acep, biasanya udah ada di meja makan,” Bagas celingak-celinguk.
“Lagi pergi ke mushola. Pak Rw minta bantuan tenaga Mang Acep buat ngebenerin genteng.”
“Oh… ya udah. Assalamu’alaikum,” Bagas mencium tangan Bi Inah.
“Waalaikumsalam hati-hati Gas,”
Bagas tersenyum. Ia membuka pintu garasi dan menstarter motor Honda Legenda merahnya. Bismillah. Setelah dipanasi sebentar, ia langsung memasukkan gigi motor dan tancap gas. Jam menunjukkan pukul 06.15. bagas  segera menambah kecepatannya. Ia berbelok ditikungan dan melihat sosok tinggi putih bermata sipit tersenyum kearahnya. Ia memelankan laju motor dan berhenti.
“Udah lama?” tanya Bagas.
Elina tersenyum seperti biasa. Tidak pernah ada kerutan karena cemberut dimukanya. Ia selalu tersenyum membuat matanya semakin sipit saja. “Enggak. Ayo jalan.”
Bagas kembali menggas motornya. Jalanan kalau setiap pagi pasti macet. Bagas mencoba mencari celah agar ia tidak telat. Jam 06.30 ia sudah sampai di sekolahnya SMAN 45 jakarta. Ia segera memarkir motornya. Alhamdulillah enggak telat.
Dari kejauhan ada sosok yang memandangi Bagas dan Elina. “Coba ente liat. Setiap hari Bagas sama Elina terus nempel aja kayak perangko. Ini bisa menghancurkan imej kita. Anak Rohis kok pacaran, boncengan, jalan berduaan. Itu sama aja melawan apa yang kita ajarkan disetiap kajian.”
Orang yang disebelahnya hanya diam saja. Ia lantas pergi ke lapangan untuk upacara. Di tempat lain ada seorang muslimah yang terus memandangi bagas. Setiap langkah Bagas ia ikuti dengan pandangan matanya. Masya Allah kenapa aku begini. Allah, syaitan terus dan terus merasuki diriku. Maafkan aku ya Allah. Muslimah itupun segera beranjak pergi.
Bagas dan Elina berjalan ke lapangan. Beberapa pasang mata memandangi mereka. Bagas, siswa yang tergolong pintar, tapi ceroboh memang populer di kalangan anak 45 begitu juga Elina. Elina pun pintar dalam segala hal. Ia dan Bagas sering di pasangkan untuk lomba cerdas cermat, debat, atau PMR. Bagas memang dianugerahi oleh Allah ketampanan dan Elina juga di anugerahi kecantikan. Namun, mereka berbeda dalam keyakinan. Dan ini membuat orang-orang di sekolah bertanya-tanya apakah mereka berpacaran atau tidak, secara mereka bukan ‘muhrim’ dan ‘berbeda’. Bagas kan anak rohis masa pacaran sih sama Elina? Itu hal yang biasa diucapkan anak-anak dalam pembicaraan mereka.
“Gas, Lin,” panggil seseorang.
Bagas dan Elina berhenti dan menoleh kebelakang. “Ada apa ?”
Mereka berdua melihat Andi terengah-engah. “Gas, Lin, lo jadi pengibar bendera ya?” katanya sambil menarik napas.
Bagas dan Elina berpandangan. “Lho gue kan ada tugas juga di PMR, Ndi.” Kata Bagas pelan.
“Oh iya. Trus siapa lagi dong yang mesti gue mintain tolong?” tanya Andi putus asa.
“Kan ada Audy sama Putu,” Elina menjentikkan jarinya.
“Iya gue baru inget. Eh tapi kan si Bli (abang-red) kadang belom datang?!“ kata Andi
“Coba aja Ndi. Enggak ada salahnya kan. Liat tuh pak Danil udah mondar mandir,” Bagas mencoba menenangkan Andi.
“Ya udah deh. Thanks ya,” Andi segera berlari mencari Audy dan Putu.
Bagas dan Elina saling berpandangan dan tersenyum. “Kasihan Andi,” kata Elina.
Mereka berdua berjalan ke ruangan PMR. Sesampainya di ruangan PMR mereka melihat beberapa anggota PMR. “Eh Ka Bagas Ka Elina ada apa kak?” Rosy menghampiri Bagas dan Elina.
“Enggak kok. Cuma mau ngecek ada orang atau enggak.” Elina tersenyum.
“Oh kirain ada apa.ya udah deh, Aku mau keliling kalo-kalo ada yang sakit atau enggak kuat ikut upacara. Maaf ya kak, ” Rosy berjalan meninggalkan Bagas dan Elina.
Elina berjalan ke lemari dan mengambil dua slayer PMR. Elina memberikannya satu untuk Bagas. Ia langsung memakai slayer dan keluar ruangan PMR. Upacara telah dimulai. Ia dan Elina berdiri dibelakang barisan anak XII IPA 6. Selama berlangsungnya upacara keadaan masih membaik, namun di pertengahan ada teriakan dari barisan anak XII IPA 6. Bagas dan Elina segera berlari ke tengah barisan. Mereka berdua melihat Sarah, anak XII IPA 6 dan juga anggota Rohis, pingsan.
Bagas dan Elina segera berlari ketengah kerumunan. “Minta tolong dong yang perempuan angkat bareng-bareng ke ruang PMR. Lin, aku ke ruang PMR.” Bagas berlari ke ruang PMR dan segera mempersiapkan segalanya. Ia tidak enak jika mengangkat seorang wanita terlebih Sarah.
“Tolong ya harus ada yang menahan kepalanya, kasihan kalo enggak ada yang menahannya. Dalam hitungan ketiga angkat sama-sama. Satu, dua…tiga yap,” Elina mengangkat bersama dengan 5 orang lainnya.
“Tumben Sarah pingsan, biasanya enggak.” celetuk seseorang.
“Mungkin lagi puasa kali?!” tambah yang lainnya.
Mereka sudah sampai di ruangan PMR. Disana sudah ada Bagas, dan dua orang anggota PMR lainnya. Elina dan ke lima orang itu lalu membaringkan Sarah ke ranjang. “Yang lainnya bisa kembali ikut upacara ya. Biar Sarah kita yang nanganin,” kata Elina.
“Lin aku..” Bagas memandang Elina.
“Iya aku tahu… bukan muhrim kan? Ada aku, tenang aja. Tolong ambilin minyak angin sama air putih.” Elina membuka beberapa kancing baju putih Sarah. Bagas menyerahkan minyak angin dan air putih pesanan Elina.
“Aku keluar dulu ya,” Bagas pun keluar. Elina menganguk  “Rosy, tolong kamu buka kaus kakinya.” Elina memegang tangan Sarah. Ya Tuhan dingin sekali. Ia mengoleskan minyak angin ke leher, dada dan hidungnya.
“Ka, kakinya dingin banget.”
Elina langsung memegang kakinya. “Kamu kasih minyak angin, terus kamu pijit-pijit ya.” Padahal dahinya panas. Elina menepuk-nepuk pipi Sarah. “Sar, bangun Sar. Sarah…” Elina terus menepuk-nepuk pipi dan memijat dahi Sarah.
Elina melihat gerakan Sarah. “Sarah bangun Sar….”
Sarah perlahan membuka matanya dan terdengar suaranya pelan. “Ya Allah….. pusing sekali….”
Elina menarik nafas lega. “Tadi kamu pingsan. Sekarang ada di ruangan PMR. Yuk minum dulu.” Elina memberi air putih.
“Enggak makasih,” Sarah menggeleng. “Aku lagi puasa.” Katanya pelan.
Elina menoleh ke Rosy. “Rosy tolong buatin teh manis anget ya.” Elina memegang tangan Sarah. “Sar… kamu boleh puasa kalo kamu sehat. Sekarang lihat, kamu lagi demam. Sakit. Jangan maksain diri ah... Allah enggak suka hambanya yang menzholimi dirinya sendiri. Kayak kamu gini. Allah pasti ngertiin keadaan kamu dan Allah pasti nerima niat kamu untuk berpuasa.”
Sarah tertegun. Elina, gadis non muslim, bisa bicara seperti itu. Elina tersenyum tulus kearahnya. “Ayo diminum. Minum air putih dulu ya buat batalin puasa kamu, baru nanti teh manisnya buat menghangatkan tubuh kamu.” Sarah memandang Elina tidak percaya. Ia merasa takjub dengan perkataan dan perbuatan Elina terhadapnya.
Tok..tok..tok.. Elina menoleh dan melihat Bagas sudah berdiri di depan pintu PMR. “Aku boleh masuk?”
Sarah membetulkan jilbabnya. Elina membantu menutupi kaki Sarah dengan selimut. Elina mempersilahkan Bagas masuk. Bagas menghampiri Elina. “Bagaimana? Sarah sudah baikan?” Elina mengangguk. Sarah menunduk.
“Alhamdulillah,” Bagas menarik nafas lega. Ia menoleh sebentar ke Sarah untuk melihat kondisinya. Tanpa sengaja, Bagas dan Sarah beradu pandang. Keduanya menjadi kikuk. Astaghfirullah… aku benar-benar tidak kuat akan dorongan syaitan.
  “Aku sudah lapor pak Danil. sekarang beliau sedang telepon keluarga kamu dan memberitahu mereka kalau kamu sakit. Em… sekalian jemput kamu, supaya kamu bisa istirahat dirumah.”
Elina menggenggam tangan Sarah. “Cepat sembuh ya. Maaf Sar, aku enggak bisa nemenin kamu karena sehabis upacara, aku ada ulangan kimia.”
Sarah mengangguk. “Enggak apa-apa ko. Aku terima kasih banget atas bantuan kamu Lin. Em.. Gas,” Sarah menunduk. “Makasih.”
Bagas memandang Sarah sekilas. “Sama-sama. Aku sama Elina kekelas dulu ya. Kamu akan ditemani Rosy.”
Bagas dan Elina berjalan keluar ruangan PMR. “Gas,” Elina memandang Bagas. “Kamu puasa?”
Tanpa sepengetahuan mereka berdua, Sarah memandangi setiap langkah Bagas dan Elina yang sudah meninggalkan ruangan PMR. Ia mendengarkan pembicaraan mereka.
“Insya allah, kenapa?” tanya Bagas heran.
“Alhamdulillah…” Elina tersenyum senang.
“Ko Alhamdulillah?” Bagas heran. Mereka berhenti sesaat.
“Aku bisa nitip doa kekamu supaya aku lulus ujian dengan nilai yang baik. Kan katanya, kalo orang yang puasa tuh doanya dikabulkan hihihihi…” Elina cengengesan.
Bagas geleng-geleng kepala. Kirain apa serius banget. Sarah masih terus memandangi mereka dari kaca. Masya Allah… kuatkan aku ya Allah….
***
Alhamdulillah… sudah selesai sholat isya, tugas sekolah udah beres, dan sekrang waktunya… istirahat. Bagas keluar kamar . Masih jam sembilan malem. Ia menuruni anak tangga dan menuju halaman depan.
“Gas,”
Bagas menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Mang Acep sudah berada dibelakangnya. Berdiri membawa wedang jahe dan kue bika ambon.
Bagas berdiri dan mengambil nampan yang dipegang Mang Acep. “Wow… mantap nih Mang malem-malem makan beginian. Tau aja sih Mamang,” Bagas menaruhnya dilantai. Ia duduk bersila dan menyeruput wedang jahe yang masih panas. “Bi Inah kemana?”
“Udah tidur. Padahal mah masih jam Sembilan, Gas?” kata Mang Acep mengambil satu potong bika ambon. “Bagas aja, belum tidur,”
“Ya enggak apa-apa Mang. Kalo udah ngantuk, masa ditahan. Entar malah jadi pusing Mang,” Bagas melihat kearah jalanan kompleks. Sepi. Sunyi. “Sepi banget…”
“Lha, kan emang setiap hari sepi Gas. Baru nyadar ya?”
“Lagi ngapain ya Papa sama Mama? Gimana kabar mereka?” Bagas bertanya kedirinya sendiri.
Mang Acep menaruh gelasnya. “Insya Allah mereka sehat Gas. Doain aja,”
“Bagas kangen mereka, Mang. Kadang Bagas mikir, apa Bagas ini anak adopsi, anak angkat? Kenapa mereka perlakukan Bagas kayak gini? Apa Bagas lemah, cengeng?” tanya Bagas. Air matanya hampir menetes, ia mencoba menahannya. “Bagas tahu, dosa kalau Bagas menggugat kenapa, kenapa, dan kenapa sama Allah. Allah pasti punya rencana lain. Bagas mencoba untuk bersyukur bahwa ada yang lebih kurang beruntung dibanding Bagas.”
“Alhamdulillah…. Mamang mah bersyukur pisan kalo Bagas nyadar, masih bisa ngendaliin diri supaya enggak terjerumus ke hal-hal yang enggak-enggak. Enggak begajulan. Mamang terus berdoa enggak cuma buat anak Mamang dikampung, tapi juga buat Bagas, Tuan sama Nyonya.”
“Makasih Mang.” Bagas mencium tangan Mang Acep.
Mang Acep mengelus kepala Bagas. “Coba Bagas cium tangan tuan sama nyonya kayak Bagas nyium tangan Mamang dan Bi Inah. Kalo perlu Bagas lebih hormat lagi. Inget Gas, Mamang dan Bi Inah bukan orang tua Bagas. Kita berdua Cuma orang laen yang masuk kekehidupan Bagas sebagai pembantu. Bagas seharusnya lebih hormat lagi sama tuan dan nyonya.” Mamang menghela nafas.
“mamang kadang enggak enak sama Tuan, Nyonya. Masa Bagas lebih hormat sama kita berdua. Haduh… salah Gas. Ridhonya Allah, ya karena ridhonya orang tua. Enggak berkah kita Gas, kalo bermusuhan sama orang tua. Hidup terasa sempit. Banyak masalah. Dikejar-kejar dosa. Sayang-sayang ibadah yang udah Bagas jalanin.”
Bagas menunduk. Mencoba mencerna perkataan Mang Acep. “susah Mang untuk menjalani seperti itu. Sudah terlalu lama aku dikecewain mereka.”
Bagas mengingat dimana ia memulai kesendiriannya sebagai seorang anak ‘broken home’disaat berumur lima tahun. Pada saat umur lima tahun, ia harus mendengar pertengkaran yang memekakan telinga antara Papa dan Mama. Papanya, Rudi Indra Widyatmoko, adalah seorang fotografer terkenal dan Mama, Mesty Aliandra, seorang model papan atas Indonesia. Mereka bertemu pada saat Mama dan Papa terlibat dalam suatu pemotretan yang membuat mereka menjadi dekat satu sama lain.
Akhirnya, Mama dan Papa memutuskan menikah disaat umur mereka masih muda. Mama delapan belas tahun, sedangkan Papa dua puluh tahun. Selang dua bulan kemudian, Mama positif hamil dan ia mulai mundur dari kehidupan modeling, sedangkan Papa masih aktif didunia fotografer. Pada saat jeda dari dunia modeling, Mama kembali masuk bangku kuliah yang ia tinggalkan. Mama berusaha dengan tekun sampai ia berhasil meraih sarjananya dibidang ilmu komunikasi disalah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta.
Perjalanan kehidupan rumah tangga Mama dan Papa berlangsung normal, tapi pada saat tahun keempat, Mama yang sudah benar-benar meninggalkan dunia modeling dan bekerja menjadi seorang vice president diperusahaan kosmetiknya ‘Pink Lipstick’, mendengar bahwa Papa berselingkuh.
Mama yang masih berusia dua puluh dua tahun yang sedang sibuk dengan karier dan juga memiliki seorang anak yang berusia empat tahun, berusaha kuat dan tidak terpengaruh akan gossip yang beredar. Terlebih Mama mendengar bahwa gossip itu untuk membuat produk buatan perusahaan Mama yang sedang jadi trendsetter menjadi goyah. Mama tidak percaya begitu saja. Akhirnya, ia berusaha untuk membongkarnya sendiri.
Selama itulah, ia ingat bahwa sang Mama dan Papa sudah jarang berada dirumah. Puncaknya, tepat sebulan setelah perayaan ulang tahunnya yang kelima, Mama membeberkan bukti-bukti yang telah Mama dapatkan. Papa ternyata telah berselingkuh dengan model asal Rusia dan ternyata Papa banyak menghabiskan waktu dengan wanita itu. Padahal Papa sering beralasan bahwa ia ada pekerjaan diluar negeri dan tidak bisa ditunda.
“apa-apaan ini?” Tanya Rudy dengan nada berang.
Mesty tersenyum sinis. “kamu itu munafik. Sudah kamu apakan ‘cewek bule’kamu itu, hah? Peluk, cium atau kamu tiduri? Apa yang kamu dapati dari dia hah? Apa kamu tahu apakah dia masih virgin ketika kamu menidurinya?” Mesty menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya.
Rudy melotot. “sinting kamu.”
“kenapa?!” Tanya mesty sambil membuang setumpuk foto di tempat tidur. Ia menghisap rokok dalam-dalam, lalu menyemburkan asapnya ke wajah Rudy. “lihat kelakuan bejat kamu. Aku selalu berdoa sama Tuhan, semoga anakku enggak seperti kelakuan bapaknya yang amoral. Pezinah.…”
“lancang kamu,” Rudy hendak menampar wajah Mesty.
Mesty menahan amarah dan memandang tegas ke Rudy. “salah langkah aku ketika memutuskan menikah dengan kamu. Kamu memang tampan Rudy, tapi dibalik topeng ketampananmu itu tersimpan kejahatan dan balas dendam. Aku tahu kamu berbuat begini karena ayahmu adalah sama seperti dirimu Rudy. Sama-sama selingkuh dan melukai hati ibumu. Tapi aku berharap dan terus berdoa, malaikat kecilku, Bagas, tidak akan pernah sama seperti dirimu. Berbahagialah kamu dengan wanita itu, tapi jangan pernah sentuh Bagas dengan tangan hinamu.” Mesty menarik nafas. “mulai hari ini, kita bukan suami istri lagi. Aku minta cerai dan kamu harus menyetujui itu. Karena aku jijik melihat pezinah seperti dirimu. Sungguh hina kamu Rudy! Nanti pengacara aku akan mengantar surat cerai ke apartemen kamu.”
BRAK…   
Mesty membanting pintu kamar dan melihat malaikat kecilnya sedang duduk ditangga. Ia mematikan rokok dan membuang puntungnya. Ia memeluk erat Bagas sambil menangis. “maafin Mama sayang. Sekecil ini kamu harus menanggung penderitaan seperti ini.”
Bagas kecil mengusap air mata mamanya. “kenapa nangis Ma? memang Papa galakin Mama ya? kenapa sih Ma, Papa galakin Mama terus? Papa kayak monster deh,”
Mesty menangis tersedu-sedu dan berulang-ulang kali mencium kening Bagas. “ya Allah… huhuhu…. Mama enggak mau nyakitin kamu sayang…”mesty menggenggam kedua tangan Bagas. “Mama sayang Bagas… Ma-Mama sangat sangat sangat sayang Bagas… ya Allah kuatkan hamba…”
Rudy keluar dengan kopernya. Ia menoleh kearah tangga. Ia melihat mesty sedang menangis dengan memeluk Bagas kecil. “Papa mau pergi Gas” ia berjalan kegarasi.
“Papa…”teriak Bagas. Bagas melepaskan pelukan Mamanya. Bagas berlari menuruni tangga dan menuju kearah Rudy. “Pa, Papa mau kemana? Papa jangan pergi. Papa ikut kan Parents Day disekolah aku? Papa udah janji,”
Rudy mengelus kepala Bagas dan menciumnya. “Papa pergi dulu ya,”
Bagas melihat Papanya menstarter mobil lalu menutup pintunya. Ia ingat,papa tidak mengucapkan sepatah katapun, bahkan membuka jendela mobilpun tidak. Bagas tidak menangis. Entah sebenarnya, ia tidak menangis karena sudah terbiasa ditinggal atau ia memang belum mengerti tentang keadaan yang sebenarnya terjadi.
Semenjak itu, Bagas tidak pernah mengenal siapa sebenarnya orang yang disebut Mama dan Papa. Mama dan Papanya tidak pernah datang untuk menjenguknya. Mereka hanya memantau Bagas melalui telepon lewat Mang Acep atau Bi Inah. Bagas selalu ingat, setiap ada acara sekolah, orang tuanyalah yang selalu absen untuk datang. Untuk urusan mengambil rapot pun harus Mang Acep karena siapa lagi yang harus mengambilnya.
“Gas, Bagas,” Mang Acep menepuk-nepuk punggung Bagas.
Bagas segera tersadar. “Ya Allah,” Bagas mengusap wajah dengan kedua tangannya. “ada apa, Mang?”
“udah jam sepuluh malem. Tidur gih. Besok kesiangan bangunnya,” kata mang Acep. “biar ini Mamang yang bawa. Sekalian Mamang mau ngunci pager sama pintu.”
Bagas mengangguk. “aku masuk dulu ya , Mang,”


 Bab 2
Tok..tok..tok..
“lin…Elina..” panggil Papi dari luar. Elina segera berlari membuka pintu.
“kenapa Pi?” Tanya Elina yang melihat Papinya sudah rapi. “eh Papi mau kemana? Mau kencan sama Tante Rika ya? Deu…ganteng banget sih Papi aku ini…” Elina menggoda Papinya.
Papi kaget. Wajahnya yang putih bersih, memerah karena malu digoda anak gadisnya. “ih, kencan? Siapa yang mau sama papi Lin? Papi kan ‘duker’!”
“duker? Apaan tuh, aku baru ini denger,” Tanya Elina bingung
“duda kere hahahahaha….” Kata Papinya tertawa.
“ih kirain aku apaan? Papi tuh bukan ‘duker’, tapi ‘duren’. Duda keren. Tuh liat papi aku, kayak Andy Lau hihihihi mau kemana sih pi?”
Papi geleng-geleng kepala. Dilihatnya jam dipergelangan tangannya. “kamu ngigau, Lin? Papi mau kegereja. Vilin udah nungguin dimobil.”
Tin..tiiiiiinnnnn… Vilin menekan klakson mobil kuat-kuat.
“papiiiiiii….cepeeeett…lama banget sih,” teriak Vilin kencang.
“tuh kan, denger gak suara adik kamu.”
“pi, aku enggak ikut ya? Aku mau belajar, besok mau ada try out.” Elina memohon dengan muka melas.
Papi tersenyum. “udah Papi duga. Ya udah belajar yang rajin. Papi doain semoga berhasil.”
“oke. Thank you, Papi…” Elina mencium dahi sang Papi tercinta dan mencium tangan beliau.
Papi terkesima dengan sikap anak gadisnya yang sudah mulai dewasa.
“hati-hati Pi, jangan ngebut ya,” Elina masuk kedalam kamar dan menutup pintunya.
***
Malam harinya, Vilin naik kelantai dua menuju kamar kakaknya. Ia membuka pintu tanpa mengetuk terbih dahulu.“ih, kirain aku kakak belajar. Ka, ko tadi enggak ikut ke gereja sih?” Vilin melihat kakaknya sedang membaca novel The Kite Runner diatas tempat tidur.
Elina menaruh pembatas buku di halaman 214, dan menutup novelnya. “tadi siang aku belajar, cantik…” Elina mencubit pipi adiknya yang berusia empat belas tahun.
“bohong… kok sekarang lagi baca novel?!” katanya sambil menunjuk ke novel yang berada di atas meja belajar.
“emang kenapa sih, kok kamu kayaknya enggak rela banget aku enggak ikut?” Tanya Elina penasaran.
Vilin cemberut. “bukan gitu kak, Papi kan ngajak koko Steve bareng, eh disana dia malah nawarin cupcake ke para jemaat. Ih, aku kesel banget. Aku disuruh bawain kardus-kardus yang isinya cupcake. Pokoknya aku udah kayak asistennya kak Steve. Papi bukannya nolongin, malah senyam-senyum aja. Kata Papi ‘nanti kamu bakal Papi jodohin sama Steve, yah? Udah cocok banget tuh kayaknya, Papi bakal kasih tau Mamanya Steve, Tante Irene, kalo Papi mau besanan sama dia. Lumayan kan Papi dapet mantu pengusaha cupcake’ aku beteeeeeeeeeee banget disitu,”
“hahahaha… cie sama koko Steve. Ganteng  tau, Vil. Kayak Jerry Yan. Hahahaha…” goda Elina.
“kakak…. Ih kakak sama aja kayak Papi,”
Kututup mataku…… dari semua pandanganku… suara Rossa mengalun lembut dari HP Elina.
“ya halo Pi, ada apa?” Tanya Elina.
“makanan udah siap. Ayo makan malem dulu. Sekalian ajak Vilin juga ya,”
“iya Pi,” Elina menutup teleponnya. “ayo makan dulu. Papi udah selesai masaknya tuh,”
Elina dan Vilin keluar dari kamar menuju ruang makan. Mereka melihat Papi sedang membereskan meja maka. “sini Pi,aku aja,” Elina meraih piring yang dibawa Papi.
Ia melihat masakan yang telah dibuat oleh Papi. Ada rendang daging, capcay, lalu tempe goreng dan tidak ketinggalan kerupuk. Em…yummy…. Mereka bertiga duduk dan menyantap hidangan yang sudah Papi masak. Papi adalah single dad karena Mami sudah lama meninggalkan mereka bertiga.
Setelah tiga bulan kelahiran Vilin, Mami pergi dengan laki-laki yang dicintainya. Mami dan Papi adalah korban perjodohan. Sewaktu dijodohkan dengan Papi, Mami menolak dengan alasan, Mami enggak mencintai Papi. Tapi setelah melihat kegigihan dan ketulusan dari Papi, akhirnya Mami luluh juga dan menikah dengan Papi. Namun, ketika Mami mengandung Vilin, Mami bertemu dengan pria yang pernah mengisi hari-harinya sebelum menikah dengan Papi. Mami tergoda dengan Pria tersebut dan setelah melahirkan Vilin, Mami melarikan diri dengan Pria itu entah kemana.
Papi merasa menyesal akan hal ini. Ia sedih karena wanita yang dicintainya dengan tulus, pergi meninggalkan dirinya dan anak-anaknya. Papi menangis bukan karena Mami, tapi Papi menangis kenapa Mami dengan tega meninggalkan anak yang telah Mami lahirkan. Semenjak itu, Papi mulai menutup hati terhadap percintaan dan hanya focus untuk mengurus anak dan bisnisnya. Papi lebih memilih mengembangkan bisnisnya, yaitu toko sembako di pasar dan juga bisnis toko kue. Papi juga hanya menghabiskan waktu dirumah, setelah pulang dari pasar. Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan menikah, walaupun banyak dari keluarga Papi yang menyuruhya segera menikah lagi.
“Niel, kenapa kamu tidak menikah lagi? Lihat si Elina dan Vilin, mereka itu kan anak perempuan, seharusnya mereka membutuhkan sosok seorang wanita yang mampu menjadi teman mereka.” nasihat Tante Bella hanya ditanggapi dingin oleh Papi.
“Mereka tidak membutuhkan seorang ibu. Bella... kamu tahu kan Ibu kandungnya saja meninggalkan mereka, jadi buat apa. Kamu lihat kan?” Papi menunjuk kearah kedua buah hatinya. “Mereka senang-senang saja, walaupun tidak ada ibunya. Aku merasa sudah bahagia hidup bertiga bersama mereka. Aku tidak mau menyia-nyiakan waktuku untuk sebuah pernikahan. Aku sudah pernah jatuh cinta sekali, menikah sekali, dan dikhianati sekali. Aku tidak mau mencoba untuk yang kedua kali. Aku sudah pernah merasakan semua. Sekarang tujuan aku cuma satu, mendidik mereka dan membuat mereka sukses meraih mimpi mereka, bukan mimpiku.”
“Kak, Kakak…” panggil Vilin.
Elina tersentak kaget. “kenapa?”
“kakak daritadi bengong melulu, mikirin siapa sih? Hayo… ngaku. Pi, Kak Lin kan udah punya pacar…..” goda Vilin sambil melirik genit ke Elina.
“ih apa-apaan sih kamu.”
“enggak apa-apa kali… Papi seneng Elina punya pacar. Biar ada yang nyemangatin kalo belajar ya, kan?” Papi malah ikut-ikutan menggoda.
“yah si Papi, malah ikut-ikutan si Vilin. Kompak banget sih!” Elina pura-pura marah. Ia memanyunkan bibirnya.
“Kak, kakak jadi kuliah dimana?” Vilin memandangi Elina serius.
“emang kenapa? Serius banget mukanya neng,”Elina mencubit pipi Vilin yang putih mulus.
“iya Lin, kamu jadi kuliah dimana?” papi juga ikut-ikutan nanya.
Elina menyudahi makannya dan mengelap mulutnya dengan tisu. “aku kepengen kuliah di UI atau UGM aja Pi ngambil psikologi.” Elina menuang air digelas Papi dan digelasnya. Ia lalu meminumnya.
“lho, katanya kakak mau kuliah di NTU Singapore?” Tanya Vilin lagi. Papi mengangguk.
“tadinya. Cuma pas aku pikir-pikir, kasihan Papi nanti enggak ada yang ngurusin. Kalo aku kuliah di Indonesia kan, aku bisa pulang balik kesini.” Kata Elina sedih. Ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan berpisah dengan Papi dan Vilin untuk melanjutkan pendidikannya.
“Lin,” Papi menghabiskan air digelasnya. “papi enggak suka alasan kamu tidak jadi kuliah di Singapore cuma gara-gara Papi sama Vilin. Kalau kamu memang ingin kuliah disana, silahkan. Papi enggak akan melarang, papi dukung seratus persen. Urusan biaya, biar itu urusan Papi. Elina, Vilin, keduanya anak Papi. Kebanggaan Papi. Semahal apapun biaya sekolah kalian, asalkan itu membawa manfaat kedepannya buat kalian, Papi dukung.”
“papi harap, kamu lanjutkan cita-cita kamu menjadi seorang psikolog. Kamu mau kuliah dimana? Inggris? Amerika? Silahkan. Selama Papi masih bisa mencari uang, Papi akan berusaha untuk membuat kalian senang. Papi selalu ingin mewujudkan keinginan kalian. Papi tidak mau mengecewakan mimpi kalian. Kalian berdua adalah kebanggaan Papi, sinar dan kekuatan Papi dalam melanjutkan hidup.” Papi menunduk menahan air matanya yang sudah jatuh.
“bagaimana bisa aku ninggalin Papi?” Elina memeluk Papi dan mencium keningnya. Vilin memandangi keduanya. Ia mengusap airmata yang telah membasahi pipinya.
“aku janji akan membuat Papi bangga dan enggak akan membuat Papi kecewa. Itu janji aku sebagai seorang anak.”
***
Bagas dan Elina duduk menunggu kedatangan Ibu Aisyah. Keduanya melihat kesekeliling ruangan kepala sekolah. Mereka melihat lemari yang berisi berbagai jenis penghargaan yang telah diraih oleh siswa-siswa SMAN 45 Jakarta. Mata Bagas tertuju pada sebuah piala yang setinggi lima puluh centimeter. Ia ingat bahwa piala tersebut berhasil ia raih bersama Elina dan teman-teman PMR lainnya. Mereka berhasil mengalahkan PMR lain dari berbagai SMA di Jakarta. Ibu Aisyah masuk kedalam ruangan dengan membawa map merah.
“Bagas, Elina, Ibu memanggil kalian berdua kesini karena kalian berdua adalah siswa-siswa yang mempunyai nilai akademis yang tinggi ditambah kalian juga berprestasi dalam bidang ekstrakulikuler. Ada beberapa siswa lain yang juga mempunyai nilai akademis yang tinggi dan Ibu panggil kesini, cuma sekarang mereka sedang ada ulangan. Kalian, anak kelas XII IPA 1 sedang ada jam kosong, kan?” Tanya Ibu Aisyah, kepala sekolah SMA 45 Jakarta.
Bagas dan Elina mengangguk. Ibu Aisyah membuka map merah. “kemarin Ibu mendapat kiriman berkas dari UI dan UGM untuk siswa-siswa berprestasi yang ingin mengikuti PMDK. Disini dijelaskan syarat-syarat untuk mengajukan PMDK. Nah, menurut Ibu, kalian berdua dan beberapa siswa lainnya layak untuk mengikuti PMDK karena nilai kalian lebih dari cukup untuk mengikuti itu. Sekarang Ibu ingin tahu bagaimana pendapat kalian?”  
Bagas dan Elina saling berpandangan. Ibu Aisyah memandang Bagas dan Elina menunggu keputusan dari mulut keduanya. Elina memandang Ibu Aisyah dengan tatapan sungguh-sungguh. “kalau aku… aku enggak akan mengikuti PMDK itu Bu karena…”
“karena?” Tanya Ibu Aisyah.
“karena saya berencana kuliah diJepang selepas lulus SMA,”
Ibu Aisyah mengucap syukur dan terlihat gembira mendengar penjelasan Elina. “Alhamdulillah.. Ibu senang mendengarnya. Kamu mau kuliah dimana? Lalu mau ngambil jurusan apa rencananya?”
“em… tadinya aku mau kuliah disini aja. Kalau enggak diUI ya… UGM psikologi. Tapi Papi menawarkan untuk kuliah diluar negeri aja. Ya sudah, aku terima. Aku minta doanya aja dari Ibu semoga lancar. Aku sih niatnya kuliah di Nanzan University, Faculty of Humanities Department of Psychology and Human Relations. Letak kampusnya berada di Nagoya. Tadinya Papi nawarin di Amerika atau Inggris, Cuma aku lebih senang di Jepang.”
“ya sudah, dimanapun kamu kuliah, Ibu dukung seratus persen karena Ibu ingin semua murid lulusan SMA 45 Jakarta harus menjadi pemuda yang mengguncangkan dunia dengan ilmu. Nah tadi pacarnya sudah, sekarang bagaimana nih Mas Bagas?” lirik Ibu Aisyah sambil tersenyum.
Bagas memandang keluar jendela. “enggak tau Bu. Nanti aja dipikirannya. Belum juga lulus.”
Ibu Aisyah kaget. “jangan gitu dong Gas, memang kamu enggak mau meneruskan sekolah?”
Bagas bingung untuk menjawabnya. Ia menoleh ke Elina. Elina tersenyum sambil mengangkat bahu. Terserah kamu, bisik Elina.
Bagas memandang Ibu Aisyah. “bukan begitu Bu, saya lebih mikirin bisa atau enggak pas ujian nanti. Saya juga punya rencana ingin nerusin ke jenjang yang lebih tinggi. Insya Allah bu, masalah kuliah mah gampang, kan kualitas swasta sama negeri sekarang ini enggak jauh beda. Malah ada swasta yang lebih bagus kualitas dan fasilitasnya dibanding negeri.”
Ibu Aisyah terlihat bête mendegarnya. “yah terserah kamu aja deh Gas. Ibu Cuma menawarkan saja kalo-kalo kamu ingin ikut PMDK daripada susah-susah ikut ujian saringan masuk lagi. Masa depan kalian, kalian juga yang menjalani. Ibu Cuma enggak mau menyia-nyiakan aset yang ada didalam diri kalian. Ya sudah, Ibu cuma mau membicarakan tentang itu saja. Sekarang kalian kembali kekelas. Ingat, sebentar lagi ujian. Jangan pacaran melulu ya,” goda Ibu Aisyah ke Bagas dan Elina.
Bagas dan Elina hanya tersenyum mendengarnya dan mereka keluar untuk kembali kekelas.
“nanti jadi?” Tanya Elina.
“kemana?” Tanya Bagas heran. Ia tidak ingat kalau ada janji dengan Elina.
“katanya kamu mau ke toko buku walisongo,”
“oh… ya nanti sehabis pulang sekolah, maaf ya aku lupa,”
“enggak apa-apa, aku maklumin kok. Karena factor usia kan?” goda Elina sambil berlari menghindari Bagas.
“hahahaha… bisa aja kamu,” Bagas mencoba mengejar Elina.
***
Elina turun dari motor. Bagas membuka helm dan jaketnya. Elina memandangi suasana parkiran ditoko buku Walisongo yang berada didaerah Kwitang. Parkiran motor begitu penuh sesak tanpa ada ruang sama sekali. Ia menyerahkan helmnya ke Bagas untuk digantungkan di motor.
Bagas mengajak Elina masuk kedalam toko. Elina memandangi sekitarnya. Ia tampak risih dan malu. Elina memandangi dirinya.kebanyakan orang yang datang memakai jilbab, sedangkan ia masih mengenakan seragam sekolah dengan baju putih lengan pendek dan rok abu-abu pendeknya.
Bagas mengerti perasaan Elina. “enggak apa-apa. Katanya kamu mau lihat buku-buku tentang islam.”
Elina berjalan pelan dan ragu. Ia memelankan suaranya. “tapi gas, aku risih nih. Tadi ada bapak-bapak sama ibu-ibu yang merhatiin aku terus. Aku malu….” Katanya setengah berbisik.
“kamu cantik sih, makanya diliatin,” goda Bagas. “Allah maha tahu hambaNya yang masih dalam tahap pencarian hidayah,” ujar Bagas menyakinkan Elina. Bagas tersenyum. Elina memberanikan diri masuk kedalam.
Ketika masuk, Elina melihat suasana toko yang amat berbeda. Begitu kental dengan nuansa islami. Elina mengikuti langkah Bagas. Bagas menoleh kearahnya. “kamu keliling aja. Kali-kali aja ada yang kamu suka,”
Elina mengernyitkan dahi. “kamu bercanda Gas? Aku kan bukan orang islam,” suara Elina dipelankan karena tidak enak apabila didengar orang. Tapi akhirnya, Elina menuruti juga saran Bagas untuk berkeliling.
Elina berjalan dari satu rak ke rak yang lain. Elina bingung dan tidak mengerti dengan judul buku-buku yang berada disitu. Elina berdiri dirak yang khusus membahas tentang wanita. Tiba-tiba matanya tertarik melihat buku yang berada dihadapanya.
“wanita yang dijamin surga?” ucapnya pelan.
Ia langsung mengambilnya untuk dibaca, tapi sayang buku itu masih disegel. Elina mencari buku tersebut yang sudah dibuka karena ia penasaran ingin tahu tentang isi buku tersebut. Ia penasaran, siapa wanita yang kira-kira dijamin masuk surge. Apa mungkin Mother Theresa? Tidak berapa lama, ia menemukan buku karangan Ahmad Khalil Jam’ah yang sudah dibuka. Ia langsung membacanya.
Sudah dua jam Bagas berkeliling Walisongo untuk mencari buku. Ia bingung karena tidak melihat sosok Elina. “kemana ya?”tanyanya sambil celingak-celinguk, garuk-garuk kepala. Diambilnya hendphone dikantongnya, lalu mencoba menghubungi Elina.
“halo,”
“halo Lin, kamu dimana? Aku cari-cari ko enggak ada sih?”
“aku dilantai satu Gas, dibagian buku-buku tentang wanita. Kamu kesini aja, aku lagi serius baca nih. Udah ya,” tut…tut..tut.. Elina memutuskan sambungan telepon.
Bagas geleng-geleng kepala. Ia lantas turun kelantai satu dan mencoba mencari-cari Elina. Bagas mencari ke bagian buku-buku tentang wanita. Tidak salah lagi, Bagas melihat Elina sedang membaca. Ia menghampirinya. Karena terlalu serius, Elina tidak menyadari kehadiran Bagas. “wanita yang dijamin surga,” bagas membaca judul buku yang di baca Elina.
Elina kaget, dan menyudahi membaca. “kamu? Aku enggak sadar kalau ada kamu. Udah lama?”
“baru. Gimana? Bagus?” tanya Bagas sambil mengambil buku yang di pegang Elina dan membuka daftar isinya.
Elina mengambil buku tersebut yang masih di segel. “aku mau beli ini Gas. Aku merasa tertarik dengan kisah-kisah wanita yang berada dibuku ini.” Elina meninggalkan Bagas menuju kasir. Namun, baru beberapa langkah Elina berhenti di depan tumpukan Al qur’an. Ia mengambil Al qur’an yang bersampul warna merah jambu. Ia melihat-lihat dan tersenyum.
Bagas menghampirinya. “kenapa?” tanya Bagas heran.
Elina membuka Al qur’an. “Dulu sewaktu aku sekolah di SD negeri, aku pernah minta ke papi untuk dibeliin Al qur’an karena semua temen SD aku pada bawa dan membacanya. Lalu papi jelasin kalau aku bukan orang islam. Aku selalu ingin membaca dan tahu arti dari bacaan yang terkandung dalam al qur’an, tapi aku sadar berkali – kali bahwa aku hanyalah orang chinese.”
“apa hubungannya al qur’an dan chinese?”
“waktu kecil aku mengutarakan niat aku untuk membaca al qur’an dan mencoba untuk meminjam al qur’an kepada teman aku di SD, tapi mereka malah menertawakan aku. Katanya ‘masa orang cina ngaji, ih aneh…’ . disitu aku sedih,” Elina menaruh kembali al qur’an itu dan melangkahkan kaki ke kasir. Bagas menarik nafas dan mengambil al qur’an tersebut menuju kasir.
Elina menoleh ke arah Bagas. “Aku bukan seorang Muslimah, Gas.”


Bab III
“kak Bagas….”
 Bagas berdiri dari kursi belajarnya dan meninggalkan buku soal-soal ujian yang sedang dikerjakan. Bagas melihat jam didinding. Jam sembilan malam. Ia sudah hafal betul suara teriakan seperti itu. Bagas keluar kamar dan melihat ke bawah. Dibawah shafira sudah cengar-cengir sambil membawa tas yang penuh dengan isinya.
“ngapain kamu kesini?” tanya Bagas sambil turun ke bawah.
Shafira cemberut. “deu… sinis banget sih kak. Aku kan mau tinggal disini,”
“Mau tinggal atau nginep?” tanya Bagas berdiri dihadapan Shafira. Ia melihat mang Acep sedang mengangkut barang-barang bawaan Shafira.
“ih, udah aku bilang, jangan panggil aku fir, panggil aku Sha atau Ra. Emang nama aku kafir. Kak, aku enggak disuruh duduk sama ditawarin minum?”
Bagas geleng-geleng kepala. “tinggal duduk aja. Emang kamu mau minum apa?”
“aku mau…”
“air putih aja. Biar sehat.” Bagas langsung ngeloyor pergi ke dapur.
Shafira manyun. “Biar sehat. Dasar,”
Tidak berapa lama, Bagas membawa sebotol air mineral dingin. Ia langsung menyerahkan ke Shafira. “nih minum,”
“gelasnya mana?”
“enggak usah pake gelas. Ngotor-ngotorin aja. Kasian bi Inah nyucinya. eh, tapi kenapa kamu bawa-bawa barang sebanyak itu ke rumah aku??” Bagas mencoba bersabar menghadapi anak berusia 15 tahun yang cerewet, dan bawel walaupun sudah berjilbab. Beda sekali dengan tante Shifa, ibunda Shafira. Beliau begitu lembut, anggun, pokoknya muslimah sejati.
Tante shifa adalah adik mama yang kedua alias bontot alias bungsu. Sedangkan mama adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik mama yang pertama, om alfian berada di amerika meneruskan sekolah dan bisnisnya di bidang advertaising. 
Shafira menyilangkan kedua tangannya di dada. “emang ibu enggak ngasih tahu kakak? Kan Ayah dapat beasiswa S3 di inggris, tadinya aku sama ibu mau diajak, cuma… karena aku tanggung sekolahnya jadi aku sekolah disini aja. Lagian kata tante mesty aku disuruh tinggal disini aja. katanya sayang kalau cuma ditempatin sama kak Bagas doang.”
“mama bilang begitu?!” bagas kaget. Shafira manggut-manggut kayak burung pelatuk. “kapan mama ke rumah kamu?”
“tiga hari yang lalu. Kan ibu telpon ke tante mesty kalau mau pindah ke inggris. Terus tante mesty dateng kerumah. Tante ngasih saran kalau aku tinggal sama kakak aja biar ada yang ngejagain. Nanti  rumah aku di sewain aja terus uangnya buat aku di tabung. Begitu kak,”
“kenapa mama enggak kesini?” tanya Bagas sedih. Ia menjatuhkan diri di sofa lalu menutup wajah dengan kedua tangannya menahan kesedihan.
“kak, kakak jangan sedih. Tante cerita banyak ke ibu kalau tante kangennnn banget sama kakak.” Shafira mencoba menghibur Bagas.
“darimana kamu tahu kalau mama kangen sama aku?”
“kan aku ngedenger percakapan ibu sama tante Mesty,” Shafira menutup mulutnya. Ups, kelepasan.batinnya
“nah… ketahuan kamu nguping ya… dasar biang gosip. Aku bilangin ibu kamu lho ya…” Bagas menggoda Shafira.
Aduh… bodoh banget sih. Kenapa bisa kelepasan, batinnya. “ah kakak…. jangan bilang-bilang ibu dong. nanti aku diceramahin lagi.” Shafira merajuk.
“bodo,”
“ya udah enggak aku terusin ceritanya,” ancam Shafira.
Bagas melengos. “dasar. Bisa aja kamu. Ya udah terusin, nanti enggak aku laporin deh.”
“gitu dong.” Shafira senang. “Tante tuh sebenernya mauuu… banget dateng dan ngejenguk kakak, tapi tante malu. Tante malu karena katanya sudah terlalu lama ninggalin kakak,”
“bagus dia sadar,” ujar Bagas pelan.
“hush, enggak boleh gitu kak. Biar gitu-gitu kan mamanya kak Bagas,”
Bagas tersenyum sinis. “kalau dia seorang mama, kenapa dia enggak pernah merawat anaknya sendiri. Dia malah lari dari kesedihan dengan bekerja dan meninggalkan anaknya. Aku enggak pernah tahu kasih sayang orang tua itu seperti apa. Aku malah tahu kasih sayang yang aku dapatkan dari Mang Acep dan Bi Inah. Aku malah sudah nganggap Mang Acep dan Bi Inah adalah orang tua aku.”
“kak, kakak enggak boleh begitu. Inget kak, walaupun Tante Mesty atau Om Rudi enggak pernah menjenguk kakak, tapi seenggaknya setiap doa yang mereka panjatkan pasti ada nama kakak. Inget kak amalan yang terus abadi salah satunya ya doa anak yang soleh. Doa untuk kedua orang tua kita.”
“tapi,” bagas mencoba menahan kesedihan. “kamu enggak pernah ngerasain apa yang aku rasain. Aku memang laki-laki, aku enggak boleh cengeng dalam menghadapi kehidupan. Tapi aku sudah terlalu lama menahan ini semua. Aku mencoba menjadi dewasa sejak perceraian mama dan papa. Aku disuruh oleh almarhumah eyang putri untuk tabah dan menerima itu semua.”
“aku disuruh dewasa menghadapi kesedihan-kesedihan itu walaupun umurku masih terlalu muda untuk menjadi dewasa. Pada saat aku menangis, siapa yang menghibur aku, yang mengelap air mataku. Enggak ada. Aku Cuma bisa menangis dikamar dan menjadi cemoohan anak-anak lain. Setiap hari ibu, orang-orang merayakannya dengan mengucapkan terima kasih kepada ibu mereka, sedangkan aku? Apa yang harus aku ucapkan ke mama? Apa aku harus mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan aku, memberikan rumah, mobil, motor, dan semua yang aku perlukan atau aku harus bersyukur karena sudah menyia-nyiakan aku selama ini sehingga aku bisa membencinya sampai sekarang?”
“kak, kakak ngomong apa sih?” hardik Shafira. “kakak harusnya bersyukur karena tante dan om memberikan ini semua ke kakak. Diluar sana ada orang yang enggak mempunyai tempat untuk tinggal, harus rela desak-desakkan atau bahkan rela menjual anaknya karena enggak mempunyai uang.”
Bagas menatap Shafira. “aku lebih milih mengembalikan ini semua ke mereka. Akan aku tukar ini semua dengan kasih sayang yang belum pernah aku rasakan sampai saat ini. Kenapa ada orang seperti itu di dunia ini? Apa yang mereka pikirkan tentang aku? Tentang anaknya yang sebentar lagi lulus SMA? Aku butuh nasihat Ra, sangat butuh.” Bagas menangis dihadapan Shafira.
Shafira mengelus punggung Bagas. “kak, Allah enggak tidur. Ada rencana yang sedang disusun Allah untuk kakak. Allah menguji kakak dengan cara seperti ini. Allah mau tahu seberapa hormat dan sayang kakak terhadap Om dan Tante. Kan pernah ada yang bilang, kasih sayang orang tua sepanjang jalan, kasih sayang anak cuma sepenggalan. Jadi, mungkin Allah mau mengetes kakak seberapa sayang kakak terhadap Om dan Tante walaupun kakak berjauhan sama mereka.” Ujar Shafira dengan hati-hati.
“aku juga pasti akan di uji sama Allah, tapi aku enggak tahu kapan. Mungkin sekarang, besok atau lusa. Apalagi ayah sama ibu mau ke inggris, pasti nanti ada aja cobaannya.”
Bagas mengelus kepala Shafira. “kamu sudah makin dewasa walaupun kebawelan dan manja kamu masih tetep nempel,”
Shafira merengut. “enak aja aku bawel. Aku enggak bawel kak, cuma banyak omong aja,”
“Sama aja,,,” kata bagas sambil berdiri melangkahkan kaki. “Ya udah, bawain tas kamu ke atas. Masih banyak kamar kosong karena kekurangan penghuni.” Bagas berjalan menuju kamarnya.
Shafira melongo. “Kak, bantuin aku dong.” Katanya sambil menunjuk ke tumpukan tasnya.
“Lagian kamu tuh ya.. buanyak banget sih bawa tas.” Kata Bagas sambil ngedumel.
“ya udah aku panggil mang Acep deh,”
“jangan,” Bagas menutup mulut Shafira yang sudah bersiap-siap teriak.
Bagas akhirnya membawakan dua koper dan satu tas selempang milik Shafira. Sedangkan Shafira membawa tas ransel dan dua kardus air mineral berisi buku-bukunya ke lantai atas. Bagas mencari kunci kamar yang akan di tempati Shafira di kamarnya. Akhirnya ia menemukan kunci yang sudah lama di simpannya karena jarang sekali ada yang menginap. Di rumahnya masih tersisa tiga kamar lagi untuk tamu dan satu kamar utama yang memang tidak pernah terpakai sejak kedua orang tuanya bercerai.
“Bismillah,” bagas mencoba untuk membuka pintu dan berhasil. Dinyalakannya lampu dan membuka kain-kain yang menutupi kasur, lemari dan meja belajar agar tidak berdebu. Ia juga masuk ke kamar mandi untuk mengecek apakah kerannya masih berfungsi. Seingatnya, mang Acep sering membersihkan kamar-kamar tamu.
“sip, semua udah beres. Besok pagi tinggal kamu pel aja lantainya terus kamu ganti seprai dan bed covernya. Seprai dan bed covernya kamu minta aja ke bi Inah. Ac-nya juga masih berfungsi kok,”
Shafira membawa masuk tas-tasnya. Ia mengamati sekeliling kamar dan tersenyum puas. “asyikkk… kamarnya luas,”
“kalau ada apa-apa, kamu tinggal ketuk pintu kamar aku. Kamar aku ada disebelah ya,” Shafira mengangguk-angguk kayak burung pelatuk, sedangkan Bagas langsung keluar dari kamar Shafira dan kembali ke meja belajar untuk mengerjakan soal-soal ujian lagi.
***
Tok..tok..tok…
“kak…” shafira mengetuk-ngetuk pintu kamar Bagas, tapi enggak ada jawaban. Pelan-pelan Shafira membuka pintu kamar Bagas. “mentang-mentang minggu pagi, bukannya bangun malah molor terus.”
Ia celingak-celinguk didalam kamar Bagas. “kok sepi?” tanyanya kedirinya sendiri. “Kemana ya?” Shafira melihat kesekelilingnya. Shafira bangga melihat kamar kak Bagas. Rapi dan wangi. Jarang ada kamar cowok yang serapi ini. Kamarnya sendiri aja … sangat berantakan sekali. “eh apa itu?” tiba-tiba Shafira tertarik dengan benda kecil berwarna merah jambu diatasa meja belajar Bagas.
Ia berjalan kearah meja belajar. Shafira kaget setelah sampai di dekat meja belajar. “al qur’an?!” tanyanya aneh. Bukan karena al qur’annya yang aneh, namun covernya berwarna merah jambu. Sejak kapan Kak Bagas jadi ‘girly’? Apa jangan-jangan….??. Shafira menggelengkan kepala, mencoba menghapus segala bentuk prasangka buruk yang ada dikepalanya. Ditaruhnya alqur’an tersebut seperti sedia kala, lalu ia menutup pintu kamar Kak Bagas dan kembali kekamarnya.
 Shafira menjatuhkan diri diatas kasur spring bednya. “masa sih Kak Bagas..? ih amit-amit, jangan sampe deh.” Shafira menepuk-nepuk pipinya. “ Ya Allah…kalo sampe bener dugaanku, kasihan banget dong Tante Mesty, apalagi Kak Bagas. Padahal kan, Kak Bagas ganteng. Ah enggak. Kak Bagas kan bintang basket… tapi….” Shafira bangun dari tempat tidurnya.
Ia berjalan mondar-mandir enggak jelas. “masa sih? Ah enggak deh………. Eh tapi…. Apa kak bagas jadi begitu karena….? Shafira, elo jangan ngomong yang enggak-enggak…. Ah tapi gue lihat sendiri…..”
“Ra,” tiba-tiba Bagas masuk kedalam kamar Shafira.
“hah?!” Shafira kaget melihat sosok Bagas. “oh, hehehehehe em… ada apa ka?” Shafira jadi salah tingkah.
Bagas Heran.  Kenapa nih anak, tanyanya dalam hati. Ia memandang Shafira dari atas sampe bawah. Ih lucu, batinnya. Bagas melihat sandal yang berkepala boneka sapi untuk didalam rumah berwarna putih. “ih lucu deh,” celetuk Bagas sambil terus melihat ke bawah, kearah sandal Shafira.
Shafira bengong tidak percaya. Ia langsung melihat ke bawah. “hah lucu?” kekagetan yang ketiga sepanjang minggu pagi dirumah Kak Bagas. Shafira menunjuk sendalnya. “sandal? Lucu?”
Bagas mengangguk dan mendekati Shafira. “coba lihat deh,” Bagas mendekat ke Shafira. Shafira mencopot sendalnya dan memberikan ke Bagas untuk dilihat.
“kamu beli dimana Ra?” Tanya Bagas antusias. Shafira bengong tidak percaya. Kekagetan yang keempat, batinnya. “woi,” Bagas menyenggol keras ke Shafira.
“oh..” Shafira berusaha tenang. Ia menarik nafas. “aku dibeliin Ibu,” aduh… Shafira menunduk terpaksa bohong deh gue. “kenapa kak? Kakak mau beli? Buat apaan kak?” selidik Shafira.
“ya buat dipake lah..” jawab Bagas enteng.
“oh… tapi…” belum selesai Shafira ngomong, Bagas melihat jilbab Shafira yang ternyata lucu banget dan baru dilihatnya.
“ih, jilbab kamu lucu. Barang-barang kamu lucu-lucu juga ya?”
Ya Allah….. Shafira lemas. Kenapa jadi begini… Shafira merebahkan diri dikasur. Sekarang ia sedang lemas tak berdaya karena kekagetannya yang kelima sepanjang pagi di hari minggu. Kak Bagas gue enggak nyangka ternyata elo…. Lekong… Shafira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“TIDAKKKKK…..” teriak Shafira.
Bagas kaget. Ia heran melihat sikap adik sepupunya itu. “Ra, Ra, istighfar. Kamu kenapa?”
Gue harus bertindak. Sebelum kak Bagas terlalu jauh melangkah, katanya dalam hati dengan mantap. Shafira mengepalkan tangan kanannya dan bangun dari kasur. Lalu ia memandang Bagas dengan sungguh-sungguh. “kak Bagas, tenang. Aku bakal ngerubah kakak seperti semula.” Katanya mantap.
Bagas melongo sambil garuk-garuk kepala. “kamu kenapa sih?”
***
Mesty memandangi foto yang berada diatas meja. Gimana kabar kamu Gas? Batinnya. Ia memandang keluar jendela. Gedung ini sangat tinggi sekali. Mama merasa hampa selama ini. Mama terlalu tinggi dan jauh untuk sampai kehatimu Gas. Apakah perasaan aku bisa sampai kehatinya. Ia membenciku sampai saat ini. Aku takut untuk bertemu dengannya. Dengan darah dagingku sendiri. Ya Tuhan… Mesty menjatuhkan dirinya dikursi dan memainkan pena dijari kanannya yang lentik.
Hari ini sebenarnya ia ada agenda perjalanan dinas ke Amsterdam. Namun, ia batalkan dan meminta orang lain yang menggantikannya. Sebenarnya ia berencana untuk dating kerumah yang telah lama ia tinggal. Rumah yang sekarang ditempati Bagas saat ini. Ia sangat-sangat ingin dating berkunjung dan memeluk buah hatinya itu. Namun ia tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi Bagas. Entah bagaimana tanggapan Bagas jika ia dating berkunjung?.
Mesty teringat email yang dikirim oleh Rudy, mantan suaminya, dalam emailnya Rudy ingin bertemu dengannya. Ada apa ini? Tanyanya dalam hati. Sudah lama ia tidak pernah berhubungan dengannya dan tiba-tiba Rudy mengajak bertemu. Ini merupakan suatu tanda Tanya besar didalam pikirannya. Seingatnya, setelah mereka bercerai, Rudy tinggal berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain karena ia memutuskan menjadi seorang fotografer jurnalis.
Apakah ia harus menerima ajakan dari Rudy untuk bertemu? Apa alasannya jika ia menolak? Mesty membuka Macbooknya dan segera membuka email. Ia pandangi layar laptopnya beberapa saat, lalu ia memutuskan untuk membalas email Rudy.
Cc :
Subject : tentang Bagas
Sebenarnya tidak ada keinginan aku untuk bertemu denganmu. Tapi, dorongan sebagai orang tualah yang membuatku memutuskan untuk menerima ajakanmu untuk bertemu. Kita akan bertemu jam 7 malam di Mersailles Café.
Mesty Diandra Pradipta
Mesty segera meng-klik menu send. Lagi-lagi ia menarik nafas panjang. Aku sangat menderita, Rud. Bukan karena tindakanmu selama ini, tapi aku menderita karena aku merasa berdosa akan buah cinta kita, anak kita. Bagas. Ibu macam apa aku ini yang lari dari tanggung jawab membesarkan seorang anak. Sehingga saat ini, aku tidak punya keberanian untuk menampakkan diri dihadapannya. Mesty menutup wajah dengan kedua tangannya. Tubuhnya bergetar menahan tangis. Diapartemennya yang berada di lantai 29, ia merasa sendiri dan sepi.
***
Rudy berjalan keluar kamar mandi dan mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Setelah dua minggu berada di Jepang, akhirnya ia tiba dengan selamat dan memilih menghabiskan waktunya diapartemenya. Ia mengecek semua email yang masuk. Mesty, batinya. Tentang bagas..
Rudy membuka email dari Mesty dan membacanya. “Ternyata ia masih mau bertemu denganku..” katanya pelan. “Sebenarnya, aku tidak punya keberanian bertemu denganmu dan juga Bagas. Aku tidak tahu apa yang akan kukatakan saat bertemu dengan mu..” Rudy menatap lurus keluar jendela apartemenya.
“Aku hanya merasa sepi.. dan aku sedang mencari perasaan kosong apa yang hinggap dihati ini...??” ujarnya dengan suara lirih. Rudy menyenderkan tubuhnya dijendela dan menatap kosong keluar.


Bab IV
Bagas dan Elina mengusap peluh didahi mereka setelah selesai berlari mengelilingi GOR Bumi Pertiwi sebanyak tiga putaran. Mereka berdua memilih duduk dibawah pohon yang rindang, terpisah dari teman-teman kelas tiga. Hari ini mereka semua sedang pengambilan nilai olahraga untuk ujian praktek.
“Alhamdulillah selesai juga..” kata Bagas menarik nafas panjang dan tersenyum. Ia meminum habis sebotol air mineral ukuran 600ml.
“Iya.. tapi kan kamu udah biasa Gas, lari keliling lapangan sebelum latihan basket. Kalau aku, haduhh… berasa banget deh jarang olahraganya. Stok oksigen kayak mau abis..” Elina bicara dengan nafas ngos-ngosan. Wajahnya yang putih, jadi merah karena udara panas dan keringat.
“Ya udah minum dulu..” Bagas memberikan sebotol air ke Elina.
Elina mengambilnya dan tersenyum. “Thanks ya.. ga usah bayar kan?!” katanya meggoda.
“Em… kalo kamu mau bayar malah lebih bagus lagi. Itu sih kesadaran aja.. hahaha..” ledek Bagas.
“Hahaha.. kamu bias aja deh. Iya deh nanti aku bayar.. ‘nanti ya’ ,” kata Elina sambil menekan intonasi di kata terakhirnya.
“Tuh kan, ‘nanti’ nya ini yang enggak enak..” goda Bagas lagi.
“Hahaha…” mereka berdua tertawa bersama tanpa sadar bahwa banyak pasang mata sedang mengawasi dan memperhatikannya.
Ignorance is your new best friends.. Ignorance is your new best friends lagu Ignorance dari Paramore keluar dari hp Bagas.
“Halo assalamu’alaikum.” Salam Bagas.
“Waalaikumsalam. Bagas ini gue Iman. Gas, ba’da ashar ada yang mau gue omongin masalah rohis ke lu. Dimohon kedatangannya ya, jangan sampe enggak dateng.” Iman mengingatkan.
“Insya allah Man.. dimasjid sekolah kan?!” tanya Bagas memastikan.
“Iya.. gue tunggu. Assalamu’alaikum” Iman mengakhiri teleponnya.
“Waalaikumsalam..” Bagas menjawab salam Iman. Ia lalu menaruh hp ditasnya dan bersiap-siap keparkiran. “lin, kamu mau bareng aku apa enggak? Aku mau kesekolah dulu. Iman mau ngomongin masalah rohis habis solat ashar.”
“Aku bareng sama Meta aja deh, Gas. Aku mau langsung pulang.” Jawab Elina. Ia membereskan tasnya dan bersiap-siap untuk pergi. “Kamu hati-hati ya.. dah..” Elina berjalan mendekati Meta.
Bagas berjalan keparkiran motor. Disana ia melihat wajah Sarah sedang kebingungan. Bagas lalu mendekatinya. Sarah tidak menyadari kedatangan Bagas. Ia masih mencoba menstarter motor Mio merahnya yang mesinnya tidak mau hidup dari tadi.
“Ada apa, Sar?” tanya Bagas.
“Oh ini… motor aku kok enggak mau hidup-hidup ya daritadi… kayaknya mogok deh.” Kata Sarah dengan nada putus asa.
Walaupun dengan wajah yang menunduk untuk menjaga pandangan, Bagas dapat melihat jelas kebingungan yang ada pada wajah Sarah. Bagas jongkok lalu melihat-lihat motor Sarah.
“Sar, pinjem kunci motor kamu,” Bagas mencoba menstarter berkali-kali namun tidak bisa juga. Ia lantas mengecek busi motor Sarah. “Wah busi motor kamu basah Sar kena air. Tadi sebelum kesini kamu cuci motor dulu ya?” tanya Bagas tanpa menoleh ke Sarah. Ia masih fokus dengan motor.
“Iya, memang kenapa Gas?” tanya Sarah cemas. “Rusak ya?”
“Motor kamu insya Allah enggak rusak kok. Cuma karena businya basah jadi mesin motornya enggak mau hidup-hidup. Kayaknya aku punya deh busi cadangan dimotor. Bentar ya,” Bagas berdiri dan berjalan menuju motornya.
Sarah terus memandangi langkah kaki Bagas. Masya Allah.. batinnya. Ia menunduk dan mengalihkan perhatiaan ke motornya. Ia mencoba pura-pura menyibukkan diri. Aku terlalu takut untuk mengakui kalau aku jatuh cinta dengan makhluk ciptaanMu ya Allah… aku takut jatuh kelubang kenistaan yang dalam dan tidak bisa keluar dari lubang itu batinya lirih.
“Sar,” Bagas sudah kembali dari mengambil busi. “ Alhamdulillah dimotor ku masih ada busi cadangan. Kamu tunggu sebentar. Enggak lama kok,” Bagas berjongkok dan menukar busi motor Sarah yang basah dengan busi cadangannya.
Setelah beberapa menit, Bagas mencoba menstarter motor Sarah dan… Alhamdulillah akhirnya mesin motornya bisa kembali hidup dan sudah bias dikendarai.
“Alhamdulillah Sar… sekarang sudah bisa kamu kendarai. Kamu enggak usah takut mesin motor ini akan mati lagi, insya Allah lancer deh. Tapi kalau mau lebih mantep lagi, mending kamu kebengkel aja biar nanti abangnya ngecek lagi.” kata Bagas nyengir.
Sarah menatap Bagas. “Makasih ya Gas, makasih banget. Alhamdulillahnya ada kamu, aku enggak tahu kalau enggak ada kamu jadi gimana?” Sarah bersungguh-sungguh.
Bagas menatap Sarah. Baru kali ini ia melihat wajah Sarah karena biasanya Sarah selalu menunduk apabila melihat lawan jenis. Wajahnya teduh seperti Tante Shifa, Ibunda Shafira. “Iya sama-sama Sar. Kamu hati-hati ya,”
Sarah mengangguk. Ia bersiap-siap untuk pergi. “Sekali lagi makasih ya Gas. Assalamu’alaikum,” salam Sarah. Sarah perlahan menggas motornya dan meninggalkan Bagas diparkiran motor GOR Bumi Pertiwi. Melalui kaca spion, Sarah masih melihat sosok Bagas tetap berdiri memandangi dirinya.
“Waalaikumsalam,” jawab Bagas pelan.
***
Setelah selesai sholat ashar berjamaah di masjid sekolah, Bagas, Iman, Gusti, dan Wahyu duduk di ruang secretariat Rohis. Iman menarik nafas panjang lalu menatap Bagas. Bagas merasa ada yang mengganjal dihati teman-temannya itu.
“Man, kenapa lu manggil gue ke sini? Ada masalah apa?” tanya Bagas tidak enak.
“Gas,” Wahyu membuka suara. “Sebenernya masalah ini kita enggak boleh ikut campur karena itu merupakan hak lu sebagai manusia. Namun, manusia itu yang menciptakan adalah Allah dan Allah sudah menentukan bagaimana seharusnya kita sebagai manusia itu bertindak,”
“Nah, disini gue dan yang lain sebagai pengurus mau nanya tentang elu sama Elina. Bukan gue dan pengurus itu kepo atau mau tahu masalah elu sama Elina. Cuma kok rasanya enggak enak aja karena elu sebagai pengurus rohis jalan sama yang bukan muhrim. Gue bukan mempermasalahkan tentang agama, tapi tentang bagaimana elu terlalu dekat sama Elina dan itu tidak diperbolehkan bukan oleh gue atau pengurus rohis, tapi dari Allah, Gas.”
Wahyu menekankan kalimat terakhir. Wahyu menepuk pundak Bagas. “Kita diperbolehkan untuk berteman Gas, tapi ada batas dan aturannya di dalam agama. Jangan terlalu dekat dengan api karena awalnya api dapat menghangatkan, tapi jika terlalu lama, api juga bisa membakar.”
Bagas menatap teman-temannya. “Maafin gue sebagai anak rohis engggak bisa ngasih contoh yang baik. Gue menyadari bahwa yang gue lakukan itu salah. Gue minta maaf. Gue mau ngasih alasan kenapa gue dekat sama Elina,”
“Begini, Elina adalah satu-satunya orang yang tau gimana rasanya ‘ditinggal’. Gue dan dia punya nasib yang sama sebagai anak. Mama dan Papa gue sudah bercerai dan ninggalin gue begitu aja tanpa pernah tau gimana sedih dan kecewanya gue sebagai seorang anak. Elina juga begitu, Mamanya meninggalka dia, papa dan adiknya. Gue dan Elina sama-sama dipersatukan karena perceraian orang tua. Buat kalian yang orang tuanya ‘utuh’ mungkin susah merasakan sakitnya apa yang gue dan Elina rasain,” Bagas mencoba menjelaskan ke teman-teman rohisnya.
“Gas,” Iman sang ketua Rohis angkat bicara. “Elu mesti inget Gas. Allah, Dialah yang selalu menunjukkan jalan kebenaran dan perasaan manusia. Meski elu dan Elina mempunyai kesamaan ‘nasib’, tapi bukan itu yang Allah mau. Tapi itu kemauan syaitan. Allah memberikan elu cobaan seperti itu karena Allah ingin tahu dan melihat seberapa besar kasih sayang elu terhadap mereka, walaupun elu merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari mereka. Perceraian bukanlah sebuah alasan seorang mukmin untuk meratapi. Jangan hal itu lantas menjadikannya sebagai alasan sehingga membuat seseorang dekat dengan lawan jenis.”
“Gue bukan minta elu untuk menjaga nama baik Rohis, tapi gue cuma minta elu jaga agama lu Gas. Menjaga ajaran agama yang elu anut, yaitu Islam. Inget Gas, di surat Al-Kafirun sudah dijelaskan ‘bagimu agamamu bagiku agamaku’. Itu sudah titik bukan koma lagi.”
Iman tersenyum memandang lurus kedepan. “Setidaknya elu masih bisa tau keadaan orang tua elu Gas. Masih bisa menatap mereka dan memeluknya selagi ada kesempatan. Gue malah merindukan akan hal itu”
Iman menunduk, lalu beberapa saat kemudian ia menatap Bagas dan tersenyum. “Kedua orang tua gue sudah meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan. Sekarang gue tinggal sama kakak. Jangan pernah menganggap bahwa orang tua itu jahat terhadap anaknya. Hati dan pikiran mereka akan selalu tertuju kepada anaknya, Gas. Jangan pernah berburuk sangka terhadap orang tua. Allah aja tidak pernah berburuk sangka terhadap Hamba-Nya.”
***
Bagas membaringkan tubuhnya. Ia menatap langit kamar. Jangan pernah menganggap bahwa orang tua itu jahat terhadap anak-anak. Hati dan pikiran mereka akan selalu tertuju kepada anaknya, Gas. Jangan pernah berburuk sangka terhadap orang tua. Allah aja tidak pernah berburuk sangka terhadap Hamba-Nya. Bagas teringat kata-kata dari Iman. Apakah ia sudah terlalu jahat kepada orang tuanya. Bagas mengambil smartphonenya lalu membuka isi bbm yang diterimanya ba’da maghrib.
Assalamu’alaikum Bagas, Mama mau ketemu kamu di Mersailles Café jam 7 malam hari minggu tanggal 14.
Bagas menutup kedua mata dengan lengan kanannya. Apakah aku akan menerima ajakan Mama untuk bertemu. Apakah ini merupakan suatu hal yang aneh? Untuk bertemu dengan mama, aku harus menguatkan hati. Padahal mama adalah mama kandungku. Apa yang membuat hati ini terlalu sesak Allah?  
 Terdengar bunyi pintu kamarnya terbuka. Bagas segera bangkit dari kegelisahan dan ia melihat Shafira berjalan kearahnya. Shafira duduk disamping Bagas. “Ka, tadi aku ketemu cewek di Gramedia. Dia yang nyapa aku duluan. Namanya kalau enggak salah, Elina. Tadi dia sempat ngasih aku ini ke kakak,” Shafira menyerahkan sebuah flashdisk biru muda ke Bagas. “Kok dia bisa kenal sama aku ya kak?”
Bagas menerima flashdisk dari Shafira. Elina lupa mengembalikan flashdisk yang dipinjam tiga hari yang lalu. “Aku pernah cerita banyak tentang kamu ke Elina.” Jawabnya singkat.
“Cantik ya kak? Kayak artis-artis korea. Mirip sama lee hyorin atau lee min ah,” celetuk Shafira.
“Dasar kpop-ers. Ra, kamu enggak kangen sama Bunda dan Ayah?” Bagas menatap Shafira. Ia menarik kursi dan duduk didepan Shafira. Ia merasa kasihan dengan gadis kelas 1 SMA itu karena harus berpisah dengan kedua orangtuanya.
“Aku sih sedih Kak. Bohong banget kalau aku enggak kangen sama Ayah atau sama Bunda. Apalagi tuh ayah paling cerewet ke aku tentang baca Al Qur’an ‘Rara ayo jangan nonton drama Korea terus. Ayah kok enggak pernah denger-denger kamu ngaji sih’, begitu… terus, tapi aku bangga Kak karena Ayah kan kesana lagi ngambil S3, research disana dan nanti pas pulang, bakalan jadi professor keren hehe..” katanya ceria.
Bagas mengelus kepala Shafira. “Kamu memang sudah dewasa.”
“Kak, aku laper. Sebenernya aku mau ngajakin kakak beli nasi goreng gila di perempatan Tamhar.” ujar Shafira lemes. “Aku laper banget belom makan karena tadi pulang les lama banget.”
Bagas tersenyum geli. “Lah kan Bi Inah masak Ra. Lagian liat deh badan kamu, udah ‘berisi’ (gemuk-red) banget.”
Shafira cemberut. “Iya iya, cuma aku lagi pengen makan nasi goreng Kak. Sekali-sekali kan boleh,”
“Iya deh. Ya udah ayo. Cepet mandi terus ganti baju.”
Shafira mendelik sebel. “Dih, aku udah kece gini. Aku sih udah mandi pake jilbab rapi and cute. Kakak tuh yang masih kucel.”
Bagas berdiri lalu dengan iseng melempar kaos kaki kearah Shafira. Tinggal Shafira yang mencak-mencak dengan kelakuan Bagas.
“Kak Bagas keterlaluan. Ihhhh jorok banget sih. Bau,” teriak Shafira
“Hahaha biasa aja keles.” Bagas ngeloyor masuk kekamar mandi.
“Kak jangan lama-lama nanti keburu malem. Jangan luluran,”
***
Entah apa istimewanya malam minggu. Sepanjang jalan ramai diisi oleh puluhan bahkan ratusan muda-mudi berpasangan, berboncengan di kendaraan roda dua dengan asyiknya. Entah sudah halal atau belum. Wallahu’alam bishawab.
Bagas dan Shafira menunggu dengan sabar pesanan mereka. Si penjual sudah memberikan pesan sponsor kepada mereka berdua, “Sabar ya mas. Antri,”. Bagas melihat disekeliling perempatan Tamhar. Ramai sekali. Ada banyak tukang dagang disini. Apalagi yang berjualan nasi goreng. Ada sekitar lima orang. Namun yang paling rame hanya nasi goreng ‘Caman’.
Bagas membuka bbmnya, lalu ia mengirimkan message ke Mamanya Insya Allah. Ada perasaan canggung dan menyesal kenapa ia menjanjikan akan datang. Bagas melihat-lihat suasana tenda nasi goreng caman. Ia memeperhatikan seorang yang sudah familiar dimatanya. Matanya yang sudah minus dua mencoba mengenali sosok tersebut. Sarah. Ia melihat Sarah yang sedang mengantri nasi goreng juga. Namun ia tidak sendiri, ia ditemani seorang laki-laki.
“Lho, itu kan Teh Sarah,” celetuk Shafira.
Bagas kaget. “Kok kamu kenal.” kata Bagas. Shafira berdiri menuju tempat Sarah mengantri. Bagas melihat dari kejauhan Shafira terlihat akrab dengan Sarah dan laki-laki tersebut. Terlihat mereka berjalan menuju tempatnya duduk.
“Kak, ini Teh Sarah. Kakak pasti kenal,” ujar Shafira.
“Assalamu’alaikum Sar,” salam Bagas.
“Waalaikum salam,” jawab Sarah lembut dan menunduk.
“Kak,” Shafira menyenggol Bagas. “Yang itu namanya Kang Lukman, kakaknya Teh Sarah. Kang Lukman pinter deh kak. Dia kuliah di UGM teknik nuklir. Keren kan?”
“Hush, bisa aja kamu,” laki-laki yang bernama Lukman mencoba merendah. “Lukman,” ia mengulurkan tangan ke arah Bagas.
“Bagas,” Bagas memperkenalkan diri. “Kok bisa kenal sama Shafira? Oh iya, ayo duduk.”
Bagas, Shafira, Sarah dan Lukman duduk sambil menunggu pesanan mereka. Hari semakin larut namun yang datang semakin banyak. “Teh Sarah pesennya dibungkus atau makan disini?” tanya Shafira memulai perbincangan.
“Dibungkus Ra. Kalau makan disini penuh.” Jawab Sarah singkat.
“Eh, pertanyaan aku belum dijawab. Bagaimana bisa kenal sama Shafira, Sar?” tanya Bagas penasaran.
Sarah tersenyum ke Shafira. “Shafira itu junior aku di tempat les dan lagi, ternyata Mama aku sama Bundanya Shafira itu temen SMA dan satu pengajian. Jadi kami sudah kenal lama.”
“Iya Gas, makanya pas ayahnya Shafira mau ke Inggris ada rencana kalau Shafira tinggal dirumah kami,” terang Lukman. “Karena dirumah biar Sarah ada temennya. Aku kan selama ini di Jogja, jadi jarang pulang.”
“Oh gitu,” Bagas manggut-manggut. “Kang Lukman sudah semester berapa kang?”
“Alhamdulillah sudah semester 6.” Jawabnya dengan logat sunda yang masih kental.
“Tau enggak kak? Kang Lukman mau ke Jepang saking pinternya,” celoteh Shafira.
“Kamu bisa aja Ra,” ujar Lukman merendah.
“Wah hebat banget. Kasih tips-tipsnya dong Kang biar bisa ketularan pinter.” belom lama Bagas mengobrol, ternyata pesanan Bagas dan Shafira sudah tiba.
“Ini Mas pesanannya,” kata si mas – mas nasi goreng sambil menyerahkan bungkusan nasi goreng.
“Berapa Mas?” tanya Bagas sambil mengambil uang di dompet.
“Nasi goreng gila specialnya dua jadi tiga puluh enam ribu, Mas.”  
“Ini,” Bagas menyerahkan uang pas tiga puluh enam ribu. “Makasih, ya” Bagas melihat ke araha Sarah dan Kang Lukman. “Sar, Kang, maaf nih aku duluan. Insya Allah nanti kapan-kapan kita chit-chat lagi ya, haha..” Bagas menjabat tangan Kang Lukman. “Assalamualaikum,” salamnya.
“Waalaikum salam. Hati-hati, Gas, Ras,” ujar Kang Lukman.
“Dah.. Kang Lukman, Teh Sarah. Assalamu’alaikum,” Shafira melambaikan tangan ke keduanya.
“Waalaikumsalam.” Jawab Sarah lembut.
Lukman memastikan Bagas dan Shafira sudah jauh tidak terlihat. Ia mendekati sang adik sambil berbisik. “Is he the special one?”